Abstract
Gender studies
in West idea have various of motifes that very variated with very wide
spectrum. Begin at erudite, till that be based upon history grudge, and finally
bear interpretation diffraction in feminism study in West. Set of problems
gender in Islamic studies, made entrance taking as problem Islamic normative
values, specially related to woman. Appearance of equivalence discourse gender
at this era has expanded become social program that designed in academic and
socialized politically, bear feminism movement, and finally coalesce step with
movement pluralism religion, that belive as a God of western civilization until
trapped at various of extreme dots and vicious circle that non stop jetty in
normative value platform. They maybe forget, that Islamic law has the character
of universal, pass by quickly era and cross cultural, because Muhammad saw.
It’s Prophet that delegated for all mankind till end of times. That is, ought
to framework bethink every moslem built base view of Islamic worldview,
structured to the elementary concept of Islam about God, human, the truth,
knowledge, prophecy, apocalypse, etc.
Keywords : Gender, Studi Islam
A.
PENDAHULUAN
Kedudukan
perempuan sangat mulia dan dimuliakan dalam Islam, peran mereka dalam rumah
tangga lebih penting dan berat dari sekedar tugas membantu suami dalam mencari
nafkah, yaitu tugas melahirkan dan mendidik anak-anaknya. Jika perempuan
menjadi ibu rumah tangga, bukan berarti dia lebih rendah derajatnya
dibandingkan perempuan yang menjadi menteri, presiden, atau wanita karir
lainnya. Karena itu, jika Allah swt. tidak mewajibkan perempuan mencari nafkah,
tidak wajib shalat jumat, dan sebagainya, bukan berarti Dia menghinakan
perempuan, tetapi justru Allah swt. sayang kepada mereka, dengan pemberian
beban yang sedikit, perempuan sudah dapat menggapai pintu syurga. Perspektif
akhirat inilah yang seharusnya mendasari proses interpretasi dalam melihat
berbagai masalah, agar hati menjadi tenang dan bahagia. Bila tidak, maka
perempuan akan merasa terhina ketika menyediakan minuman bagi suaminya, atau
pelayanan lainnya kepada suami serta anak-anaknya.
Islam
seringkali dikaitkan dengan isu diskriminasi terhadap wanita. Citra penindasan
terhadap kaum Hawa ini diperkuat dengan skenario yang terjadi di sebagian
Negara yang membawa nama Islam. Contohnya, pelarangan mufti Mesir pada tahun
50-an terhadap keterlibatan kaum wanita dalam segala bentuk aktifitas umum
serta membatasi mereka dengan aktivitas dalam rumah saja (domestic)[1].
Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Taliban di Afganistan yang
menafikan hak pendidikan bagi wanita. Atau kebiasaan masyarakat muslim Pakistan
yang membolehkan seorang wali berhak memaksa anak perempuannya untuk menikah
dengan lelaki yang tidak dikenalinya. Hal tersebut merupakan sebagian dari
contoh dan skenario yang semakin menguatkan citra diskriminatif bagi nilai
normatif Islam.
Maka,
timbul persoalan yang sangat kontroversial. Apakah semua perlakuan tersebut
berdasarkan pada ajaran Islam ? Adakah
Islam begitu mendiskriminasi kaum wanita ?
Tidak dipungkiri bahwa adanya pemahaman sebagian umat
Islam yang mempertahankan tindakan-tindakan tersebut dengan alasan bahwa hal
tersebut telah diputuskan oleh ulama mereka dalam kitab-kitab fikih. Golongan
ini dikenal dengan nama “tradisionalis konservatif”. Bagi golongan
feminis, pendekatan golongan tradisionalis konservatif ini dianggap kolot dan
menjadi bukti kuat tentang perlunya rekonstruksi ajaran-ajaran Islam yang
berkaitan dengan wanita agar tidak misogynist (bias gender). Dengan
semangat pembaruan tersebut, maka golongan feminis Muslim menolak otoritas
agama (ulama), karena pandangan ulama lebih bersifat subjektif. Bahkan dalam
beberapa perkara, golongan ini juga menolak hadis ṣaḥīḥ
dan hanya berpegang dengan naṡ
al-Qur’an sesuai dengan hasil interpretasi mereka sendiri.[2]
Pada kenyataannya, umat Islam seakan dihadapkan pada dua pilihan ekstrim (two
opposing ends), yaitu antara konservatisme dan liberalisme. Namun
hakikatnya, dalam tradisi keilmuan Islam terdapat alternatif ketiga yang dapat
menjadi penengah atau al-wāṣiṭiyyah, sebagaimana istilah yang digunakan
oleh Yusuf al-Qardhawy.[3]
Pendapat sederhana ini dipopulerkan oleh al-Qardhawy berdasarkan ayat al-Qur’an
yang menyifati umat Islam sebagai ummatan waṣaṭan, sebagaimana firman
Allah swt.:
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3 ..... ÇÊÍÌÈ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan (umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu ...”. (QS. al-Baqarah (2) : 143).
Jalan tengah yang dimaksud bukanlah “Islam moderat” sebagaimana yang
dipopulerkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namun mereka yang dikenali
sebagai kaum Islamis, yang mengambil pendekatan sederhana dan seimbang antara
dua metode pendekatan ekstrim (konservatif dan liberal). Dengan demikian,
pandangan kaum liberal dan feminis bahwa semua ulama Islam adalah kaum
konservatif merupakan pandangan yang tidak berdasar.
Olehnya itu, dalam makalah yang sederhana ini, penulis berusaha untuk
memaparkan pandangan Islam secara umum tentang konsep kesetaraan gender,
problematikanya, dan bagaimana Islam memandang gerakan feminisme. Adapun
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana isu gender dalam tinjauan historisnya ?
2.
Bagaimana konsep kesetaraan gender dan problematikanya
dalam studi Islam ?
3.
Bagaimana pendekatan golongan Islamis dalam menyingkapi
isu gender ?
B.
PEMBAHASAN
1.
ISU GENDER DALAM TINJAUAN HISTORIS
Gerakan feminis pada mulanya adalah gerakan sekelompok
aktifis perempuan Barat, yang berkembang menjadi gelombang akademik di
universitas-universitas, termasuk di negara-negara Islam, melalui program “women
studies”. Gerakan ini kemudian mendapat persetujuan dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women). Berbagai negara,
lembaga, dan organisasi di dunia memberikan dukungan terhadap gerakan tersebut,
walaupun menurut Nighat Said Khan, dukungan tersebut memiliki efek negatif bagi
gerakan perempuan, karena aktivis perempuan akan kehilangan sudut pandang
politik (political edge) dan pada beberapa kasus telah kehilangan
komitmen manusiawi sebagai perempuan.[4] Meskipun
demikian, gerakan feminisme di dunia Islam justru menunjukkan tingkat
agresivitas yang tinggi.
Gerakan
feminisme yang mengusung isu gender lahir dari latar belakang kultural historis
yang di alami dunia Barat, walaupun pendapat lain mengatakan bahwa gender bukan
merupakan konsep Barat, tetapi berasal dari konstruksi linguistic dari pelbagai
bahasa yang memberi kata sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis
kelamin perempuan dan laki-laki[5].
Namun pada kenyataannya, gender identic dengan gerakan feminisme, dan feminisme adalah gender.
Untuk mengetahui bagaimana feminisme lahir dan
berkembang, kita harus melihat kondisi Barat (Eropa pada khususnya) pada abad
pertengahan, ketika suara feminisme mulai terdengar. Pada abad pertengahan,
gereja berperan sebagai sentral kekuatan dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan
dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih
tetap mempertahankan posisi hegemoninya, berbagai hal yang dapat menggoyahkan
otoritas dan legitimasi gereja dianggap sebagai heresy dan dihadapkan ke
Mahkamah Inkuisisi.[6]
Nasib perempuan Barat tidak luput dari kekejian doktrin gereja yang ekstrim dan
tidak sesuai dengan kodrat manusia.
Menurut McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan masa
penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan para
pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan. Studi-studi spritual
dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s (Paulus) tentang perempuan,
yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di
dunia ini. Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang bervariasi berkaitan dengan status
perempuan di Barat, tetapi terdapat bukti kuat yang mengindikasikan bahwa
perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior. Sebagian besar perempuan
diperlakukan sebagai anak kecil atau dewasa yang bisa digoda atau dianggap
sangat tidak rasional. Bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg
University melakukan perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia
atau bukan. Pelacuran merebak dan dilegalkan oleh negara. Perempuan yang
menikah di abad pertengahan juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari
suaminya dengan alasan apapun.[7]
Abul A’la al-Maududi berpendapat, terdapat dua doktrin
dasar gereja yang membuat kedudukan perempuan di Barat pada abad pertengahan
bagaikan binatang. Pertama, gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang
berakar dari setan jahat. Wanitalah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan
kejahatan, dan menuntunnya ke neraka. Tertullian (150 M.) sebagai Bapak gereja
pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita sebagai berikut: “wanita
yang membukakan pintu bagi masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke
pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan, dan membuat laki-laki menjadi
jahat serta menjadi bayangan Tuhan”. St John Chrysostom (345 - 407 M.)
seorang Bapak gereja bangsa Yunani berkata : “wanita adalah setan yang tidak
dapat dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, sebuah
resiko rumah tangga dan keberuntungan yang cantik”.[8]
Konsep utuh tentang perempuan dalam doktrin kristen
dimulai dengan terbitnya buku Summa Theologia oleh Thomas Aquinas antara
tahun 1266 - 1272. Dalam tulisannya, Aquinas sepakat dengan Aristoteles, bahwa
perempuan adalah laki-laki yang cacat atau memiliki kekurangan (defact male).
Menurut Aquinas, “bagi para filosof, perempuan adalah laki-laki yang
diharamkan, dia diciptakan dari laki-laki dan bukan dari binatang”.
Sedangkan Immanuel Kant berpendapat bahwa, “perempuan mempunyai perasaan
yang kuat tentang kecantikan, tetapi kurang dalam aspek kognitif, dan tidak
dapat memutuskan tindakan moral”.[9]
Doktrin gereja lainnya yang menentang kondrat manusia dan
memberatkan kaum wanita adalah menganggap hubungan seksual antara pria dan
wanita adalah peristiwa kotor walaupun mereka dalam ikatan perkawinan yang sah.
Hal ini berimplikasi bahwa menghindari perkawinan adalah simbol kesucian,
kemurnian, dan ketinggian moral. Jika seorang pria menginginkan hidup dalam
lingkungan agama yang bersih dan murni, maka lelaki tersebut tidak
diperbolehkan menikah, atau mereka harus berpisah dari istrinya, mengasingkan
diri, dan pantangan melakukan hubungan badan[10].
Kehidupan keras yang dialami oleh kaum perempuan pada
saat gereja memerintah Eropa tertuang dalam essai Francis Bacon yang berjudul “Marriage
and Single Life” (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan Sendiri) pada tahun
1612. Saat Bacon menulis essainya, kondisi perempuan Inggris saat itu yang
mengalami kehidupan sulit dan keras, hal itu terlihat pada kehidupan Ratu
Elizabeth. Pada saat itu, yang bertindak sebagai penguasa adalah Raja James I,
yang sangat membenci kaum perempuan. Pemikiran tersebut kemudian memicu
pemikiran lainnya, bahwa lebih baik bagi seorang laki-laki untuk tinggal
sendiri, tidak menikah, dan jauh dari perempuan. Hidup tanpa nikah merupakan
kehidupan ideal bagi kaum lelaki, jauh dari pengaruh buruk dan beban anak-anak
sehingga laki-laki dapat berkonsentrasi pada dunia publiknya. Pemikiran seperti
ini tercermin dalam karya Francis Bacon tersebut.[11]
Melihat fakta-fakta di atas, maka jelaslah bahwa
penindasan terhadap perempuan Barat di bawah pemerintahan gereja membuat mereka
menyuarakan kebebasan di berbagai tempat. Derajat perempuan Barat sebagai
makhluk lemah dan tidak berdaya terlihat pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Hal itulah yang memotivasi mereka untuk bergerak mendapatkan kembali hak
individu dan hak sipil mereka yang terampas selama ratusan tahun.
Latar belakang yang kelam pada akhirnya memunculkan
pergerakan kaum perempuan yang menuntut hak dan kesetaraan dengan kaum
laki-laki. Gerakan perempuan (women movement) memunculkan sejumlah
tokoh, di antaranya: Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Staton, yang memiliki
surat kabar sendiri, yaitu The Revolution. Melalui media surat kabar
tersebut, kaum perempuan menuliskan pemikiran mereka yang mempersoalkan masalah
perceraian, prostitusi, dan peran gereja dalam mensubordinasi perempuan.[12]
Sebelum feminis digunakan sebagai ungkapan umum dalam
bahasa Inggris, kata-kata seperti womanism, the woman movement, atau woman questions telah digunakan
terlebih dahulu. Kata “feminist” pertama kali ditemukan pada awal abad
ke-19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis, yaitu Charles Fourier. Ide
yang diusungnya adalah transformasi perempuan oleh masyarakat berdasarkan
saling ketergantungan dan kerjasama, bukan pada kompetisi dan mencari
keuntungan. Pemikiran ini mempengaruhi banyak perempuan dan mengkombinasikan
antara emansipasi pribadi dan emansipasi sosial.[13]
Pada mulanya para feminis menggunakan isu “hak” dan
“kesetaraan” perempuan sebagai landasan perjuangannya, tapi pada akhir 1960-an
menggunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan’, kemudian feminisme menyatakan
dirinya sebagai “gerakan pembebasan perempuan”. Secara umum, kelahiran
feminisme dibagi menjadi tiga gelombang (wave) yang mengangkat isu yang
berbeda-beda.
a. Gelombang pertama, ditandai dengan publikasi dari Mary Wollstonecraft yang
berjudul “Vindication of The Rights of Women” tahun 1792,
mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan
disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi pada laki-laki dan
peminggiran perempuan dari ruang publik.[15]
Di antara landasan teorinya adalah:
1.
Feminisme Liberal; Manusia adalah otonom yang
dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal, manusia mampu memahami
prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu.
2.
Feminisme Radikal; Sistem sex atau gender
merupakan dasar penindasan terhadap perempuan. Adanya seksisme, masyarakat
patriarki, hak-hak reproduksi, hubungan kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan.
b. Gelombang kedua, ditandai dengan publikasi dari Simone de Beauvoir’s yang
berjudul “The Second Sex” tahun 1949, berargumentasi bahwa perbedaan
gender bukan berasal dari biologi, tetapi sengaja diciptakan untuk memperkuat
penindasan terhadap kaum perempuan. Di antara landasan teorinya adalah :
1.
Feminisme Psikoanalisa; Penjelasan mendasar
penindasan perempuan terletak pada psyche perempuan, cara perempuan
berfikir. Egosentrisme laki-laki yang menganggap perempuan menderita “penis
envy”.
2.
Feminisme Eksistensialisme; Konsep ada dari
Jean Paul Satre : Etre-en-soi, Etre-pour-soi, Etre-pour-les-autres (analisa
ketertindasan perempuan karena dianggap sebagai “other” pada
keberadaannya).
c. Gelombang ketiga, dimulai pada tahun 1980 oleh feminis yang menginginkan
keragaman perempuan (woman diversity) atau keragaman secara umum, secara
khusus dalam teori feminis dan politik. Di antara landasan teorinya adalah :
1.
Feminisme Postmodern; Seperti aliran
postmodernisme menolak pemikiran phalogosentris (ide-ide yang dikuasai oleh logos
absolut yakni laki-laki berreferensi pada Phallus). Perempuan merupakan sesuatu yang
lebih dari kondisi inferioritas dan ketertindasan tetapi juga merupakan cara
berada, cara berfikir, berbicara, keterbukaan, pluralitas, diversitas, dan
perbedaan.
2.
Feminisme Multikultural; Sejalan dengan
filsafat postmodern tetapi lebih menekankan kajian kultural. Penindasan
terhadap perempuan tidak hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi ada
keterhubungan masalah dengan ras, entitas, interlocking system.
2.
KONSEP KESETARAAN GENDER DAN PROBLEMATIKANYA DALAM STUDI
ISLAM
Isu kesetaraan gender dan kebebasan telah membuat
perempuan Barat mengingkari kondrat mereka sebagai perempuan. Melihat
problematika sosial yang melanda masyarakat Barat saat ini, terutama kaum
perempuannya yang telah sampai pada titik nadir, sungguh naif bila ternyata
masih banyak yang menganggap bahwa feminisme dapat memberikan solusi terhadap
berbagai problema yang melanda perempuan di dunia Islam. Kita sepatutnya merasa
iba kepada mereka, karena tanpa sadar mereka telah merusak tatanan sosial
kemasyarakatan, merendahkan nilai-nilai normatif, mencabut nilai-nilai religius
dari peradaban mereka.
Berdasarkan latar belakang sejarah, konsep dan isu
feminisme, pada hakikatnya tidak perlu menyilaukan paradigma berfikir perempuan
di dunia Islam, sebab isu tentang hak dan kesetaraan yang diagung-agungkan
Barat muncul karena penolakan mereka terhadap doktrin gereja yang memarginalkan
kaum perempuan selama berabad-abad, mengekang hak-hak untuk mengembangkan diri
dan memiliki akses pendidikan, begitu pula hak-hak sipil yang terpinggirkan
karena dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Hal semacam itu tidak sedikitpun
terdapat dalam ajaran syariat atau doktrin-doktrin Islam.
Agama Islam yang muncul sejak abad ke-7 masehi telah
menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia, bagai berlian dan mutiara
yang bernilai tinggi, wajib untuk dijaga dan dihormati. Bahkan penghargaan
kepada perempuan (ibu) menempati posisi ketiga setelah keimanan kepada Allah
swt. dan Rasululullah saw., Allah swt.
berfirman :
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Luqman (31)
: 14).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam
kesulitan, yang pertama adalah hamil, kemudian melahirkan dan selanjutnya
menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada
ayah. Sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ
بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ
ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah ra., beliau
berkata: “Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, ‘Wahai
Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi saw.
menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’
Nabi saw. menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa
lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian
siapa lagi,’ Nabi saw. menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971
dan Muslim no. 2548).
Fenomena
yang terjadi di Barat, bahwa tidak sedikit kaum perempuannya memeluk Islam
karena tertarik oleh keadilan dan kemuliaan Islam dalam menghargai wanita. Annie Basants berkata tentang wanita Islam: “Sesungguhnya kaum
wanita dalam naungan Islam jauh lebih merdeka dibanding dalam mazhab-mazhab
lain, Islam lebih melindungi hak-hak wanita daripada agama Masehi. Sementara
wanita Inggris tidak memperoleh hak kepemilikan, kecuali sejak 20 tahun yang
lalu, sedangkan Islam telah memberikan hak tersebut sejak saat pertama”.[16]
Isu
kesetaraan dan kebebasan yang diperjuangkan kaum feminis merupakan konsep abstrak, bias, dan absurd
karena sampai saat ini para feminis sendiri belum sepakat mengenai kesetaraan
dan kebebasan seperti apa yang diinginkan kaum perempuan. Terminologi “feminis”
sendiri memiliki beragam definisi berdasarkan latar belakang sejarahnya.[17] Walaupun pada awal munculnya feminisme adalah gerakan reaktif terhadap penindasan gereja, tetapi perkembangannya di
kemudian hari memperlihatkan akar dari gerakan
ini adalah paham relativisme yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau
buruk, tidak bersifat mutlak, tetapi beragam dan berubah-ubah, tergantung pada
individu, lingkungan, maupun kondisi sosial.[18]
Argumen yang digunakan oleh feminis Muslim dan Muslim
liberal sangat mencerminkan worldview Barat. Hal tersebut dapat dilihat
pada penilaian tokoh feminis Muslim seperti Aminah Wadud yang menganggap bahwa
tugas child bearing (mengurus anak) dan domestic housework (tugas
rumah tangga) adalah tugas yang hina dan tidak bermakna (demeaning and
meaningless).[19]
Dalam perspektif worldview sekuler, kemuliaan diukur berdasarkan aspek
material sedangkan aspek spiritual tidak berarti apa-apa. Anggapan bahwa
peranan wanita tidak bermakna bila dibandingkan dengan kaum lelaki adalah
penilaian yang materialistik. Suatu peranan akan dianggap dan dinilai bermakna
hanya dari sisi material sedangkan sumbangan yang non-material dianggap tidak
penting dan tidak berfaedah. Sedangkan dalam perspektif Islam, seusngguhnya
Allah swt. tidak menilai seorang hamba hanya pada sisi material belaka, namun
hakikat sebenarnya adalah pada usaha dan keikhlasannya. Oleh karena itu,
seyogyanya bagi setiap Muslim ketika akan memberikan interpretasi pada suatu
perkara, apakah bermakna atau tidak, harus dilihat dari kacamata Islam yang
holistik dan bukan dualistik.
Kekuasaan dalam worldview Barat yang materialistik
dan sekuler adalah simbol kemuliaan dan the end-in-itself, sedangkan
Islam melihat kekuasaan adalah alat untuk menjalankan tugas sebagai khalīfatullāh. Substansinya, kekuasaan dan kelebihan yang didapatkan
adalah beban, amanah dan tanggungjawab yang mesti diemban dengan mengikuti
kehendak dan aturan dari Allah swt. bukan kehendak individu atau golongan
tertentu. Dengan semangat inilah, para Khulafā al-Rāsyidīn meminta untuk dibenarkan dan diingatkan oleh umat jika
sekiranya mereka terjebak dalam kesalahan dan kekeliruan dalam mengemban amanh
kepemimpinan tersebut.
Gerakan feminis pada akhirnya telah menjauhkan perempuan
dari kehangatan sebuah keluarga. Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir
dan bersaing dengan laki-laki untuk membuktikan eksistensi mereka. Banyak dari
mereka kemudian mengalami alienasi, depresi, dan masalah psikologis lainnya,
karena melawan naluri dan kodrat sebagai perempuan. Masyarakat Barat pun
akhirnya tersadar dari kekeliruan tersebut, gerakan feminis ditunding sebagai
biang kerok atas kehancuran moral yang menimpa kaum perempuan sehingga gerakan
ini berangsur-angsur surut dan kini hanya sebatas wacana belaka.
Dalam normatif Islam, sesungguhnya Allah swt. dalam
al-Qur’ān telah menetapkan tugas yang seimbang bagi
lelaki dan wanita, yang diberikan sesuai fitrah dan kemampuan masing-masing.
Dari segi fisik, emosi, dan psikologi, hanya wanita yang dapat menjalankan
tugas keibuan dengan baik, sebab mereka lebih penyayang, lemah lembut, serta
cepat bertindak dan memberi respon menurut naluri keibuan, sifat-sifat tersebut
menjadi ciri istimewa wanita dalam memenuhi tuntutan tugas dengan baik. Adapun
kaum lelaki biasanya lambat bertindak, dan mempertimbangkan sesuatu sebelum
bertindak, juga kecenderungan terhadap kehidupan yang kasar dan menantang, maka
lelaki sangat sesuai untuk pekerjaan di luar rumah guna memenuhi kebutuhan
keluarga. Maka, bukan karena kerendahan wanita atau kelebihan lelaki yang
membuat perbedaan tugas tersebut, namun fitrah insaniah dan psikologi keduanya
yang menjadi dasar pertimbangan atas penetapan amanah kehidupan. Oleh karena
itu, sungguh tidak bijak bila kita memaksakan suatu tugas dan amanah kepada
orang yang secara fitrah insaniahnya tidak cenderung ke arah tersebut. Dengan
demikian, kita harus memberikan keutamaan kepada yang lebih sesuai, dan kita
tidak boleh menganggap bahwa hal ini merupakan keputusan yang buruk karena
meletakkan kedudukan wanita pada ketidaksesuaian dalam segala hal.[20]
3.
PENDEKATAN GOLONGAN ISLAMIS DALAM MENYIKAPI ISU GENDER
Perbedaan pendapat dalam Islam ketika menyingkapi nuṣūṣ syar’iyyah (dalil normatif) adalah suatu keniscayaan, tergantung landasan argumentasi
dan metode interpretasi yang digunakan, serta pada wilayah mana perbedaan
tersebut muncul. Sebab tidak dipungkiri bahwa, ada perbedaan yang diakomodir
dalam Islam dan ada yang tidak dibolehkan. Pada banyak problem khilāfiyyah, golongan
Islamis (menurut sebagian pemikir Islam menamakannya dengan Islam Moderat)
mengambil pendekatan pertengahan di antara konservatif, liberal, serta feminis.
Sebagai contoh, ketika naṣ menetapkan kewajiban hijab (berjilbab),
maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama, apakah wajah dan telapak
tangan termasuk aurat wanita yang wajib ditutupi atau tidak. Golongan Islamis
ini memilih pendapat yang membenarkan wajah dan telapak tangan terbuka, karena didukung
oleh dalil-dalil yang kuat dan pendapat mayoritas ulama. Sementara golongan
konservatif memilih hukum yang lebih ketat, yaitu kewajiban menutup seluruh
wajah dan telapak tangan untuk bersikap hati-hati.[21] Namun demikian, pendapat golongan konservatif
ini tidak disalahkan oleh golongan Islamis, sebab perbedaan pendapat tersebut
adalah suatu hikmah serta memberikan kebebasan kepada para wanita untuk memilih
salah satu pendapat yang diyakini condong kepada kebenaran. Pada banyak
permasalahan, pendekatan konservatif lebih bersifat protektif, bahkan terkadang
over protective, seperti sebagian ulama Afganistan pada masa
pemerintahan Taliban tidak membolehkan kaum wanita mendapatkan hak mereka dalam
pendidikan, sedangkan golongan Islamis atau Moderat memandang hal itu sebagai
kewajiban bagi setiap Muslim tanpa memandang jenis kelamin. Oleh karena itu,
pendapat seperti di atas merupakan ijtihād subjektif para ulama, karena dalam naṣ
al-Qur’ān maupun Hadis tidak sedikitpun memberikan justifikasi terhadap
batasan hak wanita dalam pendidikan.
Demikian pula pada permasalahan yang berkaitan dengan kepemimpinan wanita.
Kaum konservatif berpendapat bahwa kepemimpinan wanita pada semua jabatan
struktural pemerintahan (seperti menjadi menteri, hakim, walikota/bupati, gubernur,
dan sebagainya) adalah khusus bagi kaum lelaki, sedangkan kaum Islamis
mengambil pendekatan sederhana dengan pandangan bahwa wanita layak memegang
kepemimpinan awam (wilāyah ‘āmmah), namun khusus pada kepemimpinan
tertinggi dalam sebuah negara Islam (khilafah dan imāmah), maka
golongan Islamis tetap berargumentasi dengan Hadis Abu Bakrah yang melarang
wanita menjadi pemimpin tertinggi sebuah negara Islam.[22] Namun
pada kepemimpinan selain posisi tersebut, sekiranya seorang wanita memiliki
kemampuan dan syarat-syarat yang terpenuhi maka tidak ada halangan untuk
menjadi pemimpin, baik berdasarkan al-Qur’ān maupun al-Sunnah. Meskipun
demikian perbedaan interpretasi antara golongan Islamis dan tradisional atau
konservatif, namun mereka tidak menafikan pandangan ulama konservatif tersebut
atau menolak apalagi menggugat otoritas mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh
golongan liberal dan feminis.
Pada kasus lain, golongan feminis berpendapat bahwa makna persamaan adalah
penyamarataan atau kesamaan hak dalam semua aspek kehidupan yang melibatkan
laki-laki dan perempuan. Dengan pemahaman seperti ini, maka segala bentuk
perbedaan pada masalah apapun dianggap diskriminasi. Olehnya itu, kaum feminis
menyerukan hak wanita untuk menjadi Imam dan khatib pada salat jumat, hak
menjadi pemimpin tertinggi (khalīfah), hak yang sama rata dalam harta
waris, dan hak mentalak suami (melafazkan ucapan talak). Adapun golongan
Islamis berpendapat, bahwa persamaan tidak selamanya bermakna penyamarataan.
Dalam worldview Islam, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada
tempatnya, yang berarti mempertimbangkan kesesuaian, kelayakan, kesediaan, dan
fitrah insaniah, dalam memberikan amanah kepada seseorang pada posisi atau
tugas tertentu.[23]
Allah swt. berfirman :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah swt. menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah swt.
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat”. (QS. al-Nisā (4) :
58).
Inilah yang mendasari pemberian tugas tertentu pada kaum lelaki dalam
Islam, seperti mencari nafkah, berperang atau berjihad, dan memimpin kaum
wanita. Perbedaan tugas dan tanggungjawab ini bukan merupakan suatu
diskriminasi. Hal ini akan terlihat sebagai bentuk diskriminasi ketika dilihat
dari perspektif paradigma Barat yang hanya mementingkan material, pangkat, dan
status. Islam meletakkan nilai-nilai moral pada kedudukan yang sangat tinggi
nan agung, nilai moral itulah yang kemudian mempengaruhi setiap ketentuan dan
aturan-aturan syariat yang mengayomi seluruh aspek kehidupan umat manusia.
Islam memberikan persamaan antara lelaki dan wanita, dan
prinsip ini diakui oleh seluruh cendekiawan Islam serta sebagian kaum feminis,[24]
meskipun sebagian feminis lainnya mengatakan bahwa Islam adalah sama dengan
agama samāwī lain yang misogynist. Konsep persamaan dan kesetaraan ini (equality)
kemudian ditafsirkan berdasarkan paradigma yang berbeda, sehingga muncullah
pertentangan di antara golongan Islamis dan feminis.
Ketika Islam kaum lelaki sebagai pemimpin dalam rumah
tangga dan wanita sebagai pengurus domestik dalam mendampingi tugas dan
tanggungjawab suaminya, tidak bertujuan untuk merendahkan derajat kaum wanita.
Sebab, hakikat kepemimpinan dalam Islam tidak ada kaitannya dengan kemuliaan
dan kehinaan, seorang pemimpin tidak berarti lebih mulia dari yang dipimpinnya,
begitu pula sebaliknya masyarakat yang dipimpin bukan menunjukkan kehinaan mereka
di sisi pemimpinnya. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab,
yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. pada Hari Perhitungan
kelak. Sayyid Qutb berpendapat bahwa, kepemimpinan adalah suatu perkara yang
sangat penting dalam sebuah keluarga sebagaimana pemimpin pada sebuah
organisasi atau institusi, karena dapat membawa keluarganya mendapatkan
kemajuan dan kesuksesan dunia dan akhirat. Tanpa kepemimpinan maka tidak ada
kekuasaan dan tanggungjawab.[25]
Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (human
values), yang merupakan kenikmatan dari Allah swt. dalam fitrah manusia. Islam
juga memandang nilai-nilai yang ada pada hak asasi manusia dengan perspektif
yang berbeda dari paradigma Barat, hal tersebut karena adanya perbedaan antara worldview
Islam dan worldview Barat. Nilai-nilai persamaan, keadilan,
kebebasan, etika, dan estetika, sangat dititikberatkan dalam Islam walaupun
kurang diaktualisasikan oleh masyarakat Islam itu sendiri. Penyebabnya adalah,
kurangnya perhatian dan adanya kelemahan umat Islam dalam memanifestasikan
nilai-nilai Islam yang luhur dan murni berdasarkan nuṣūṣ al-syar’iyyah (al-Qur’ān dan al-Sunnah) yang bersifat global dan
integral (syāmil dan mutakāmil), faktor utamanya adalah kejahilan
mayoritas umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri dan konspirasi
musuh-musuh Islam dalam mengaburkan pemahaman umat serta menjauhkan mereka dari
pengamalan syariah Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah
saw. dan para Sahabat beliau.
Inilah yang menyebabkan peradaban masyarakat Islam tidak
berkembang sebagaimana yang diharapkan, ketidakadilan dan diskriminasi muncul
pada masyarakat Islam, bahkan fenomena diskriminasi terhadap kaum wanita
menjadi ciri pada sebagian negeri kaum Muslimin, yang sebenarnya tidak memiliki
dasar dalam landasan syariat, namun sebaliknya merupakan peninggalan dari
tradisi nenek moyang dan adat masyarakat petriarki.
C.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis
menyimpulkan beberapa poin, di antaranya :
1.
Secara umum, kelahiran feminisme dibagi
menjadi tiga gelombang (wave) yang mengangkat isu yang berbeda-beda,
yaitu:
Gelombang pertama, ditandai dengan publikasi dari Mary
Wollstonecraft yang berjudul “Vindication of The Rights of Women” tahun
1792, di antara landasan teorinya adalah:
a.
Feminisme Liberal
b.
Feminisme Radikal
Gelombang kedua, ditandai dengan publikasi dari Simone de
Beauvoir’s yang berjudul “The Second Sex” tahun 1949, di antara landasan
teorinya adalah :
a.
Feminisme Psikoanalisa
b.
Feminisme Eksistensialisme
Gelombang ketiga, dimulai pada tahun 1980, di antara landasan
teorinya adalah :
a.
Feminisme Postmodern
b.
Feminisme Multikultural
2.
Dalam perspektif worldview sekuler,
kemuliaan diukur berdasarkan aspek material sedangkan aspek spiritual tidak
berarti apa-apa. Anggapan bahwa peranan wanita tidak bermakna bila dibandingkan
dengan kaum lelaki adalah penilaian yang materialistik. Suatu peranan akan
dianggap dan dinilai bermakna hanya dari sisi material sedangkan sumbangan yang
non-material dianggap tidak penting dan tidak berfaedah. Sedangkan dalam perspektif
Islam, seusngguhnya Allah swt. tidak menilai seorang hamba hanya pada sisi
material belaka, namun hakikat sebenarnya adalah pada usaha dan keikhlasannya.
Oleh karena itu, seyogyanya bagi setiap Muslim ketika akan memberikan
interpretasi pada suatu perkara, apakah bermakna atau tidak, harus dilihat dari
kacamata Islam yang holistik dan bukan dualistik.
3.
Perbedaan pendapat dalam Islam ketika
menyingkapi nuṣūṣ
syar’iyyah (dalil normatif)
adalah suatu keniscayaan, tergantung landasan argumentasi dan metode
interpretasi yang digunakan, serta pada wilayah mana perbedaan tersebut muncul.
Pada banyak problem khilāfiyyah, golongan Islamis (menurut sebagian
pemikir Islam menamakannya dengan Islam Moderat) mengambil pendekatan
pertengahan di antara konservatif, liberal, serta feminis.
***
Kasman Bakry
Kasman Bakry
Jurnal ALMUSAWA IAIN PALU, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ān.
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. Al-Mar’ah fī al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1969.
Ali, Suki. Kelly Coat, dan Wangui wa Goro. Global Feminist Politics: Identities in
Changing World. New York: Routledge, 2000.
Al-Maududi, Abul A’la. Al-Hijāb. Cet. VIII; Bandung: Gema Risalah Press, 1995.
Al-Qardhawy, Yusuf. Al-Siyāsah al-Syar’iyyah fī Ḍau’ al-Nuṣūṣ al-Syarī’ah wa Maqāṣidihā. Kairo: Maktabah Wahbah, 1998.
______________ Min Fiqhi al-Daulah fī al-Islām. Kairo: Dār al-Ṣurūq, 1996.
______________ Sanggahan Salah Tafsiran Islam, Terj.
Kajang: Synergymate, 2004.
Arivia, Gadis. Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat
Menuju Filsafat Berperspektif Feminis. Disertasi. Depok: UI Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
2002.
Badawi, Jamal. The Status of Woman in Islām. Riyadh: World Assembly of Moslim Youth, 2000.
Badran, Margot. dan Mirian Cooke (ed). Opening the Gates: A
Century of Arab Feminist Writings. London: Virago Press, 1990.
Beasley, Chris. What is Feminisme ? An Introduction to
Feminist Theory. NSW: Sage Publication, 1999.
Darwazah, Muhammad Izzat. Al-Mar’ah fī al-Qur’ān wa al-Sunnah. Beirut: al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, t.th.
Husaini, Adian. Tinjauan Historis Konflik Yahudi,
Kristen, Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Izzat, Hibah Rauf. Penglibatan Wanita dalam Politik
Mengikut Perspektif Islam. Kualalumpur: IIIT, 1997.
Jamal, Ahmad Muhammad. Jejak Sukses 30 Wanita Beriman. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1991.
Kurzman, Charles. Liberal Islam: A Source Book. London: Oxford University Press, 1998.
McKay, John P., Bennet
D. Hill, and John Buckler. A History of Western
Society, Ed. II; Boston: Houghton Mifflin Company, 1983.
Muhsin, Aminah Wadud. Qur’an and Women. Kualalumpur: Penerbit Fajar Bakti, 1992.
Parawansa, Khofifah Indar. Mengukur Paradigma Menembus Tradisi. Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2006
Qutb, Sayyid. Al-Islām wa Musykilāt al-Ḥaḍārah. Cet. XII; Kairo: Dār al-Shurūq, 1993.
_____________ Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Juz. V; Kairo: Dār al-Shurūq, 1997.
Rowbotham, Sheila. Woman in Movement: Feminism and Social Action. New York: Rountledge, 1992.
[1]Margot Badran
dan Mirian Cooke (ed), Opening the Gates: A Century of Arab Feminist
Writings, (Lodon: Virago Press, 1990), h. 353.
Mufti yang
dimaksud adalah Syekh Hasanayn Muhammad Makhluf, mufti Mesir pada tahun 1952.
Walaupun demikian, fatwa ini juga menimbulkan kontroversi di kalangan ulama
Islam pada masa tersebut.
[2]Aminah Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (Kualalumpur: Penerbit Fajar
Bakti, 1992), h. v., Lihat juga: Charles Kurzman, Liberal Islam: A Source
Book, (London: Oxford University Press, 1998), h. 130.
[3]Yusuf Al-Qardhawy, Min Fiqhi al-Daulah fī al-Islām, (Kairo: Dār al-Ṣurūq, 1996), h. 9. Lihat juga : Yusuf Al-Qardhawy, al-Siyāsah
al-Syar’iyyah fī Ḍau’ al-Nuṣūṣ al-Syarī’ah wa Maqāṣidihā”, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1998), h. 30., Yusuf Al-Qardhawy, Sanggahan Salah Tafsiran Islam, Terj.
(Kajang: Synergymate, 2004), h. viii.
[4]Nighat Said Khan, dalam Suki Ali, Kelly Coat, dan Wangui wa Goro, Global
Feminist Politics: Identities in Changing World, (New York: Routledge,
2000), h. 5.
[5]Endang W.
Ramli, dalam Khofifah Indar Parawansa, Mengukur Paradigma Menembus Tradisi, (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2006), h. xxvii.
[6]Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004), h. 158-159.
[7]John P. McKay, Bennet D. Hill, and John Buckler, A History of Western
Society, Ed. II, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1983), h. 437-541.
[9]Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berperspektif
Feminis, Disertasi, (Depok: UI Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002), h.
95.
[10]Abul A’la al-Maududi, Loc. Cit.
[12]Gadis Arivia, op. Cit., h. 20.
[13]Sheila Rowbotham, Woman in Movement: Feminism and Social Action, (New
York: Rountledge, 1992), h. 11.
[14]Gadis Arivia, Loc. Cit.
[15]Sheila Rowbotham, op. Cit., h. 8.
[16]Ahmad Muhammad
Jamal, Jejak Sukses 30 Wanita Beriman, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1991), h. 1.
[17]Chris Beasley, What is Feminisme ? An Introduction to Feminist Theory, (NSW:
Sage Publication, 1999), h. 27.
[18]What is right or wrong and good or bad is not absolute but variable and
relative, depending on the person, circumstance, or social situation. Lihat : Encyclopaedia Britannica 2001.
[19]Aminah Wadud Muhsin, op. Cit., h. 90.
[20]Hibah Rauf Izzat, Penglibatan Wanita dalam Politik Mengikut Perspektif
Islam, (Kualalumpur: IIIT, 1997), h. 165.
[22]Yusuf al-Qardhawy, op. Cit., h. 165. Lihat juga: Muhammad Izzat
Darwazah, al-Mar’ah fī al-Qur’ān wa al-Sunnah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, t.th.), h. 49.; Jamal Badawi, The
Status of Woman in Islām, (Riyadh: World
Assembly of Moslim Youth, 2000).
[23]Yusuf al-Qardhawy, Ibid., h. 162.
[24]Sayyid Qutb, al-Islām wa Musykilāt al-Ḥaḍārah, Cet. XII; (Kairo: Dār
al-Shurūq, 1993), h. 66-72.