Tahni'ah

Selasa, 26 Januari 2016

KESETARAAN GENDER DALAM STUDI ISLAM

Abstract
Gender studies in West idea have various of motifes that very variated with very wide spectrum. Begin at erudite, till that be based upon history grudge, and finally bear interpretation diffraction in feminism study in West. Set of problems gender in Islamic studies, made entrance taking as problem Islamic normative values, specially related to woman. Appearance of equivalence discourse gender at this era has expanded become social program that designed in academic and socialized politically, bear feminism movement, and finally coalesce step with movement pluralism religion, that belive as a God of western civilization until trapped at various of extreme dots and vicious circle that non stop jetty in normative value platform. They maybe forget, that Islamic law has the character of universal, pass by quickly era and cross cultural, because Muhammad saw. It’s Prophet that delegated for all mankind till end of times. That is, ought to framework bethink every moslem built base view of Islamic worldview, structured to the elementary concept of Islam about God, human, the truth, knowledge, prophecy, apocalypse, etc.

 Keywords : Gender, Studi Islam

A.  PENDAHULUAN
Kedudukan perempuan sangat mulia dan dimuliakan dalam Islam, peran mereka dalam rumah tangga lebih penting dan berat dari sekedar tugas membantu suami dalam mencari nafkah, yaitu tugas melahirkan dan mendidik anak-anaknya. Jika perempuan menjadi ibu rumah tangga, bukan berarti dia lebih rendah derajatnya dibandingkan perempuan yang menjadi menteri, presiden, atau wanita karir lainnya. Karena itu, jika Allah swt. tidak mewajibkan perempuan mencari nafkah, tidak wajib shalat jumat, dan sebagainya, bukan berarti Dia menghinakan perempuan, tetapi justru Allah swt. sayang kepada mereka, dengan pemberian beban yang sedikit, perempuan sudah dapat menggapai pintu syurga. Perspektif akhirat inilah yang seharusnya mendasari proses interpretasi dalam melihat berbagai masalah, agar hati menjadi tenang dan bahagia. Bila tidak, maka perempuan akan merasa terhina ketika menyediakan minuman bagi suaminya, atau pelayanan lainnya kepada suami serta anak-anaknya.
Islam seringkali dikaitkan dengan isu diskriminasi terhadap wanita. Citra penindasan terhadap kaum Hawa ini diperkuat dengan skenario yang terjadi di sebagian Negara yang membawa nama Islam. Contohnya, pelarangan mufti Mesir pada tahun 50-an terhadap keterlibatan kaum wanita dalam segala bentuk aktifitas umum serta membatasi mereka dengan aktivitas dalam rumah saja (domestic)[1]. Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Taliban di Afganistan yang menafikan hak pendidikan bagi wanita. Atau kebiasaan masyarakat muslim Pakistan yang membolehkan seorang wali berhak memaksa anak perempuannya untuk menikah dengan lelaki yang tidak dikenalinya. Hal tersebut merupakan sebagian dari contoh dan skenario yang semakin menguatkan citra diskriminatif bagi nilai normatif Islam.
Maka, timbul persoalan yang sangat kontroversial. Apakah semua perlakuan tersebut berdasarkan pada ajaran Islam ?  Adakah Islam begitu mendiskriminasi kaum wanita ?
Tidak dipungkiri bahwa adanya pemahaman sebagian umat Islam yang mempertahankan tindakan-tindakan tersebut dengan alasan bahwa hal tersebut telah diputuskan oleh ulama mereka dalam kitab-kitab fikih. Golongan ini dikenal dengan nama “tradisionalis konservatif”. Bagi golongan feminis, pendekatan golongan tradisionalis konservatif ini dianggap kolot dan menjadi bukti kuat tentang perlunya rekonstruksi ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan wanita agar tidak misogynist (bias gender). Dengan semangat pembaruan tersebut, maka golongan feminis Muslim menolak otoritas agama (ulama), karena pandangan ulama lebih bersifat subjektif. Bahkan dalam beberapa perkara, golongan ini juga menolak hadis aḥīḥ dan hanya berpegang dengan naṡ al-Qur’an sesuai dengan hasil interpretasi mereka sendiri.[2]
Pada kenyataannya, umat Islam seakan dihadapkan pada dua pilihan ekstrim (two opposing ends), yaitu antara konservatisme dan liberalisme. Namun hakikatnya, dalam tradisi keilmuan Islam terdapat alternatif ketiga yang dapat menjadi penengah atau al-wāṣiṭiyyah, sebagaimana istilah yang digunakan oleh Yusuf al-Qardhawy.[3] Pendapat sederhana ini dipopulerkan oleh al-Qardhawy berdasarkan ayat al-Qur’an yang menyifati umat Islam sebagai ummatan waṣaṭan, sebagaimana firman Allah swt.:
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3 ..... ÇÊÍÌÈ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu ...”. (QS. al-Baqarah (2) : 143).

Jalan tengah yang dimaksud bukanlah “Islam moderat” sebagaimana yang dipopulerkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namun mereka yang dikenali sebagai kaum Islamis, yang mengambil pendekatan sederhana dan seimbang antara dua metode pendekatan ekstrim (konservatif dan liberal). Dengan demikian, pandangan kaum liberal dan feminis bahwa semua ulama Islam adalah kaum konservatif merupakan pandangan yang tidak berdasar.
Olehnya itu, dalam makalah yang sederhana ini, penulis berusaha untuk memaparkan pandangan Islam secara umum tentang konsep kesetaraan gender, problematikanya, dan bagaimana Islam memandang gerakan feminisme. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.        Bagaimana isu gender dalam tinjauan historisnya ?
2.        Bagaimana konsep kesetaraan gender dan problematikanya dalam studi Islam ?
3.        Bagaimana pendekatan golongan Islamis dalam menyingkapi isu gender ?

B.  PEMBAHASAN
1.        ISU GENDER DALAM TINJAUAN HISTORIS
Gerakan feminis pada mulanya adalah gerakan sekelompok aktifis perempuan Barat, yang berkembang menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, termasuk di negara-negara Islam, melalui program “women studies”. Gerakan ini kemudian mendapat persetujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women). Berbagai negara, lembaga, dan organisasi di dunia memberikan dukungan terhadap gerakan tersebut, walaupun menurut Nighat Said Khan, dukungan tersebut memiliki efek negatif bagi gerakan perempuan, karena aktivis perempuan akan kehilangan sudut pandang politik (political edge) dan pada beberapa kasus telah kehilangan komitmen manusiawi sebagai perempuan.[4] Meskipun demikian, gerakan feminisme di dunia Islam justru menunjukkan tingkat agresivitas yang tinggi.
Gerakan feminisme yang mengusung isu gender lahir dari latar belakang kultural historis yang di alami dunia Barat, walaupun pendapat lain mengatakan bahwa gender bukan merupakan konsep Barat, tetapi berasal dari konstruksi linguistic dari pelbagai bahasa yang memberi kata sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki[5]. Namun pada kenyataannya, gender identic dengan gerakan feminisme, dan feminisme adalah gender.
Untuk mengetahui bagaimana feminisme lahir dan berkembang, kita harus melihat kondisi Barat (Eropa pada khususnya) pada abad pertengahan, ketika suara feminisme mulai terdengar. Pada abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral kekuatan dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya, berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja dianggap sebagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah Inkuisisi.[6] Nasib perempuan Barat tidak luput dari kekejian doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.
Menurut McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan masa penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan. Studi-studi spritual dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s (Paulus) tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hukum publik  yang bervariasi berkaitan dengan status perempuan di Barat, tetapi terdapat bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior. Sebagian besar perempuan diperlakukan sebagai anak kecil atau dewasa yang bisa digoda atau dianggap sangat tidak rasional. Bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. Pelacuran merebak dan dilegalkan oleh negara. Perempuan yang menikah di abad pertengahan juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun.[7]
Abul A’la al-Maududi berpendapat, terdapat dua doktrin dasar gereja yang membuat kedudukan perempuan di Barat pada abad pertengahan bagaikan binatang. Pertama, gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanitalah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan menuntunnya ke neraka. Tertullian (150 M.) sebagai Bapak gereja pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita sebagai berikut: “wanita yang membukakan pintu bagi masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan, dan membuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan Tuhan”. St John Chrysostom (345 - 407 M.) seorang Bapak gereja bangsa Yunani berkata : “wanita adalah setan yang tidak dapat dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan keberuntungan yang cantik”.[8]
Konsep utuh tentang perempuan dalam doktrin kristen dimulai dengan terbitnya buku Summa Theologia oleh Thomas Aquinas antara tahun 1266 - 1272. Dalam tulisannya, Aquinas sepakat dengan Aristoteles, bahwa perempuan adalah laki-laki yang cacat atau memiliki kekurangan (defact male). Menurut Aquinas, “bagi para filosof, perempuan adalah laki-laki yang diharamkan, dia diciptakan dari laki-laki dan bukan dari binatang”. Sedangkan Immanuel Kant berpendapat bahwa, “perempuan mempunyai perasaan yang kuat tentang kecantikan, tetapi kurang dalam aspek kognitif, dan tidak dapat memutuskan tindakan moral”.[9]
Doktrin gereja lainnya yang menentang kondrat manusia dan memberatkan kaum wanita adalah menganggap hubungan seksual antara pria dan wanita adalah peristiwa kotor walaupun mereka dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini berimplikasi bahwa menghindari perkawinan adalah simbol kesucian, kemurnian, dan ketinggian moral. Jika seorang pria menginginkan hidup dalam lingkungan agama yang bersih dan murni, maka lelaki tersebut tidak diperbolehkan menikah, atau mereka harus berpisah dari istrinya, mengasingkan diri, dan pantangan melakukan hubungan badan[10].
Kehidupan keras yang dialami oleh kaum perempuan pada saat gereja memerintah Eropa tertuang dalam essai Francis Bacon yang berjudul “Marriage and Single Life” (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan Sendiri) pada tahun 1612. Saat Bacon menulis essainya, kondisi perempuan Inggris saat itu yang mengalami kehidupan sulit dan keras, hal itu terlihat pada kehidupan Ratu Elizabeth. Pada saat itu, yang bertindak sebagai penguasa adalah Raja James I, yang sangat membenci kaum perempuan. Pemikiran tersebut kemudian memicu pemikiran lainnya, bahwa lebih baik bagi seorang laki-laki untuk tinggal sendiri, tidak menikah, dan jauh dari perempuan. Hidup tanpa nikah merupakan kehidupan ideal bagi kaum lelaki, jauh dari pengaruh buruk dan beban anak-anak sehingga laki-laki dapat berkonsentrasi pada dunia publiknya. Pemikiran seperti ini tercermin dalam karya Francis Bacon tersebut.[11]
Melihat fakta-fakta di atas, maka jelaslah bahwa penindasan terhadap perempuan Barat di bawah pemerintahan gereja membuat mereka menyuarakan kebebasan di berbagai tempat. Derajat perempuan Barat sebagai makhluk lemah dan tidak berdaya terlihat pada hampir seluruh aspek kehidupan. Hal itulah yang memotivasi mereka untuk bergerak mendapatkan kembali hak individu dan hak sipil mereka yang terampas selama ratusan tahun.
Latar belakang yang kelam pada akhirnya memunculkan pergerakan kaum perempuan yang menuntut hak dan kesetaraan dengan kaum laki-laki. Gerakan perempuan (women movement) memunculkan sejumlah tokoh, di antaranya: Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Staton, yang memiliki surat kabar sendiri, yaitu The Revolution. Melalui media surat kabar tersebut, kaum perempuan menuliskan pemikiran mereka yang mempersoalkan masalah perceraian, prostitusi, dan peran gereja dalam mensubordinasi perempuan.[12]
Sebelum feminis digunakan sebagai ungkapan umum dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti womanism, the woman movement,  atau woman questions telah digunakan terlebih dahulu. Kata “feminist” pertama kali ditemukan pada awal abad ke-19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis, yaitu Charles Fourier. Ide yang diusungnya adalah transformasi perempuan oleh masyarakat berdasarkan saling ketergantungan dan kerjasama, bukan pada kompetisi dan mencari keuntungan. Pemikiran ini mempengaruhi banyak perempuan dan mengkombinasikan antara emansipasi pribadi dan emansipasi sosial.[13]
Gelombang pemikiran feminisme[14]
Pada mulanya para feminis menggunakan isu “hak” dan “kesetaraan” perempuan sebagai landasan perjuangannya, tapi pada akhir 1960-an menggunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan’, kemudian feminisme menyatakan dirinya sebagai “gerakan pembebasan perempuan”. Secara umum, kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang (wave) yang mengangkat isu yang berbeda-beda.
a.    Gelombang pertama, ditandai dengan publikasi dari Mary Wollstonecraft yang berjudul “Vindication of The Rights of Women” tahun 1792, mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik.[15] Di antara landasan teorinya adalah:
1.        Feminisme Liberal; Manusia adalah otonom yang dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu.
2.        Feminisme Radikal; Sistem sex atau gender merupakan dasar penindasan terhadap perempuan. Adanya seksisme, masyarakat patriarki, hak-hak reproduksi, hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.
b.    Gelombang kedua, ditandai dengan publikasi dari Simone de Beauvoir’s yang berjudul “The Second Sex” tahun 1949, berargumentasi bahwa perbedaan gender bukan berasal dari biologi, tetapi sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. Di antara landasan teorinya adalah :
1.        Feminisme Psikoanalisa; Penjelasan mendasar penindasan perempuan terletak pada psyche perempuan, cara perempuan berfikir. Egosentrisme laki-laki yang menganggap perempuan menderita “penis envy”.
2.        Feminisme Eksistensialisme; Konsep ada dari Jean Paul Satre : Etre-en-soi, Etre-pour-soi, Etre-pour-les-autres (analisa ketertindasan perempuan karena dianggap sebagai “other” pada keberadaannya).
c.    Gelombang ketiga, dimulai pada tahun 1980 oleh feminis yang menginginkan keragaman perempuan (woman diversity) atau keragaman secara umum, secara khusus dalam teori feminis dan politik. Di antara landasan teorinya adalah :
1.        Feminisme Postmodern; Seperti aliran postmodernisme menolak pemikiran phalogosentris (ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut yakni laki-laki berreferensi pada Phallus). Perempuan merupakan sesuatu yang lebih dari kondisi inferioritas dan ketertindasan tetapi juga merupakan cara berada, cara berfikir, berbicara, keterbukaan, pluralitas, diversitas, dan perbedaan.
2.        Feminisme Multikultural; Sejalan dengan filsafat postmodern tetapi lebih menekankan kajian kultural. Penindasan terhadap perempuan tidak hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, entitas, interlocking system.

2.        KONSEP KESETARAAN GENDER DAN PROBLEMATIKANYA DALAM STUDI ISLAM

Isu kesetaraan gender dan kebebasan telah membuat perempuan Barat mengingkari kondrat mereka sebagai perempuan. Melihat problematika sosial yang melanda masyarakat Barat saat ini, terutama kaum perempuannya yang telah sampai pada titik nadir, sungguh naif bila ternyata masih banyak yang menganggap bahwa feminisme dapat memberikan solusi terhadap berbagai problema yang melanda perempuan di dunia Islam. Kita sepatutnya merasa iba kepada mereka, karena tanpa sadar mereka telah merusak tatanan sosial kemasyarakatan, merendahkan nilai-nilai normatif, mencabut nilai-nilai religius dari peradaban mereka.
Berdasarkan latar belakang sejarah, konsep dan isu feminisme, pada hakikatnya tidak perlu menyilaukan paradigma berfikir perempuan di dunia Islam, sebab isu tentang hak dan kesetaraan yang diagung-agungkan Barat muncul karena penolakan mereka terhadap doktrin gereja yang memarginalkan kaum perempuan selama berabad-abad, mengekang hak-hak untuk mengembangkan diri dan memiliki akses pendidikan, begitu pula hak-hak sipil yang terpinggirkan karena dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Hal semacam itu tidak sedikitpun terdapat dalam ajaran syariat atau doktrin-doktrin Islam.
Agama Islam yang muncul sejak abad ke-7 masehi telah menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia, bagai berlian dan mutiara yang bernilai tinggi, wajib untuk dijaga dan dihormati. Bahkan penghargaan kepada perempuan (ibu) menempati posisi ketiga setelah keimanan kepada Allah swt. dan Rasululullah saw., Allah swt. berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Luqman (31) : 14).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kesulitan, yang pertama adalah hamil, kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada ayah. Sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah ra., beliau berkata: “Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi saw. menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi saw. menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi saw. menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Fenomena yang terjadi di Barat, bahwa tidak sedikit kaum perempuannya memeluk Islam karena tertarik oleh keadilan dan kemuliaan Islam dalam menghargai wanita.  Annie Basants berkata tentang wanita Islam: “Sesungguhnya kaum wanita dalam naungan Islam jauh lebih merdeka dibanding dalam mazhab-mazhab lain, Islam lebih melindungi hak-hak wanita daripada agama Masehi. Sementara wanita Inggris tidak memperoleh hak kepemilikan, kecuali sejak 20 tahun yang lalu, sedangkan Islam telah memberikan hak tersebut sejak saat pertama”.[16]
Isu kesetaraan dan kebebasan yang diperjuangkan kaum feminis merupakan konsep abstrak, bias, dan absurd karena sampai saat ini para feminis sendiri belum sepakat mengenai kesetaraan dan kebebasan seperti apa yang diinginkan kaum perempuan. Terminologi “feminis” sendiri memiliki beragam definisi berdasarkan latar belakang sejarahnya.[17]  Walaupun pada awal munculnya feminisme adalah gerakan reaktif terhadap penindasan gereja, tetapi perkembangannya di kemudian hari memperlihatkan akar dari gerakan ini adalah paham relativisme yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, tidak bersifat mutlak, tetapi beragam dan berubah-ubah, tergantung pada individu, lingkungan, maupun kondisi sosial.[18]
Argumen yang digunakan oleh feminis Muslim dan Muslim liberal sangat mencerminkan worldview Barat. Hal tersebut dapat dilihat pada penilaian tokoh feminis Muslim seperti Aminah Wadud yang menganggap bahwa tugas child bearing (mengurus anak) dan domestic housework (tugas rumah tangga) adalah tugas yang hina dan tidak bermakna (demeaning and meaningless).[19] Dalam perspektif worldview sekuler, kemuliaan diukur berdasarkan aspek material sedangkan aspek spiritual tidak berarti apa-apa. Anggapan bahwa peranan wanita tidak bermakna bila dibandingkan dengan kaum lelaki adalah penilaian yang materialistik. Suatu peranan akan dianggap dan dinilai bermakna hanya dari sisi material sedangkan sumbangan yang non-material dianggap tidak penting dan tidak berfaedah. Sedangkan dalam perspektif Islam, seusngguhnya Allah swt. tidak menilai seorang hamba hanya pada sisi material belaka, namun hakikat sebenarnya adalah pada usaha dan keikhlasannya. Oleh karena itu, seyogyanya bagi setiap Muslim ketika akan memberikan interpretasi pada suatu perkara, apakah bermakna atau tidak, harus dilihat dari kacamata Islam yang holistik dan bukan dualistik.
Kekuasaan dalam worldview Barat yang materialistik dan sekuler adalah simbol kemuliaan dan the end-in-itself, sedangkan Islam melihat kekuasaan adalah alat untuk menjalankan tugas sebagai khalīfatullāh. Substansinya, kekuasaan dan kelebihan yang didapatkan adalah beban, amanah dan tanggungjawab yang mesti diemban dengan mengikuti kehendak dan aturan dari Allah swt. bukan kehendak individu atau golongan tertentu. Dengan semangat inilah, para Khulafā al-Rāsyidīn meminta untuk dibenarkan dan diingatkan oleh umat jika sekiranya mereka terjebak dalam kesalahan dan kekeliruan dalam mengemban amanh kepemimpinan tersebut.
Gerakan feminis pada akhirnya telah menjauhkan perempuan dari kehangatan sebuah keluarga. Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir dan bersaing dengan laki-laki untuk membuktikan eksistensi mereka. Banyak dari mereka kemudian mengalami alienasi, depresi, dan masalah psikologis lainnya, karena melawan naluri dan kodrat sebagai perempuan. Masyarakat Barat pun akhirnya tersadar dari kekeliruan tersebut, gerakan feminis ditunding sebagai biang kerok atas kehancuran moral yang menimpa kaum perempuan sehingga gerakan ini berangsur-angsur surut dan kini hanya sebatas wacana belaka.
Dalam normatif Islam, sesungguhnya Allah swt. dalam al-Qur’ān telah menetapkan tugas yang seimbang bagi lelaki dan wanita, yang diberikan sesuai fitrah dan kemampuan masing-masing. Dari segi fisik, emosi, dan psikologi, hanya wanita yang dapat menjalankan tugas keibuan dengan baik, sebab mereka lebih penyayang, lemah lembut, serta cepat bertindak dan memberi respon menurut naluri keibuan, sifat-sifat tersebut menjadi ciri istimewa wanita dalam memenuhi tuntutan tugas dengan baik. Adapun kaum lelaki biasanya lambat bertindak, dan mempertimbangkan sesuatu sebelum bertindak, juga kecenderungan terhadap kehidupan yang kasar dan menantang, maka lelaki sangat sesuai untuk pekerjaan di luar rumah guna memenuhi kebutuhan keluarga. Maka, bukan karena kerendahan wanita atau kelebihan lelaki yang membuat perbedaan tugas tersebut, namun fitrah insaniah dan psikologi keduanya yang menjadi dasar pertimbangan atas penetapan amanah kehidupan. Oleh karena itu, sungguh tidak bijak bila kita memaksakan suatu tugas dan amanah kepada orang yang secara fitrah insaniahnya tidak cenderung ke arah tersebut. Dengan demikian, kita harus memberikan keutamaan kepada yang lebih sesuai, dan kita tidak boleh menganggap bahwa hal ini merupakan keputusan yang buruk karena meletakkan kedudukan wanita pada ketidaksesuaian dalam segala hal.[20]

3.        PENDEKATAN GOLONGAN ISLAMIS DALAM MENYIKAPI ISU GENDER

Perbedaan pendapat dalam Islam ketika menyingkapi nuṣūṣ syar’iyyah (dalil normatif) adalah suatu keniscayaan, tergantung landasan argumentasi dan metode interpretasi yang digunakan, serta pada wilayah mana perbedaan tersebut muncul. Sebab tidak dipungkiri bahwa, ada perbedaan yang diakomodir dalam Islam dan ada yang tidak dibolehkan. Pada banyak problem khilāfiyyah, golongan Islamis (menurut sebagian pemikir Islam menamakannya dengan Islam Moderat) mengambil pendekatan pertengahan di antara konservatif, liberal, serta feminis.
Sebagai contoh, ketika naṣ menetapkan kewajiban hijab (berjilbab), maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama, apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat wanita yang wajib ditutupi atau tidak. Golongan Islamis ini memilih pendapat yang membenarkan wajah dan telapak tangan terbuka, karena didukung oleh dalil-dalil yang kuat dan pendapat mayoritas ulama. Sementara golongan konservatif memilih hukum yang lebih ketat, yaitu kewajiban menutup seluruh wajah dan telapak tangan untuk bersikap hati-hati.[21]  Namun demikian, pendapat golongan konservatif ini tidak disalahkan oleh golongan Islamis, sebab perbedaan pendapat tersebut adalah suatu hikmah serta memberikan kebebasan kepada para wanita untuk memilih salah satu pendapat yang diyakini condong kepada kebenaran. Pada banyak permasalahan, pendekatan konservatif lebih bersifat protektif, bahkan terkadang over protective, seperti sebagian ulama Afganistan pada masa pemerintahan Taliban tidak membolehkan kaum wanita mendapatkan hak mereka dalam pendidikan, sedangkan golongan Islamis atau Moderat memandang hal itu sebagai kewajiban bagi setiap Muslim tanpa memandang jenis kelamin. Oleh karena itu, pendapat seperti di atas merupakan ijtihād subjektif para ulama, karena dalam naṣ al-Qur’ān maupun Hadis tidak sedikitpun memberikan justifikasi terhadap batasan hak wanita dalam pendidikan.
Demikian pula pada permasalahan yang berkaitan dengan kepemimpinan wanita. Kaum konservatif berpendapat bahwa kepemimpinan wanita pada semua jabatan struktural pemerintahan (seperti menjadi menteri, hakim, walikota/bupati, gubernur, dan sebagainya) adalah khusus bagi kaum lelaki, sedangkan kaum Islamis mengambil pendekatan sederhana dengan pandangan bahwa wanita layak memegang kepemimpinan awam (wilāyah ‘āmmah), namun khusus pada kepemimpinan tertinggi dalam sebuah negara Islam (khilafah dan imāmah), maka golongan Islamis tetap berargumentasi dengan Hadis Abu Bakrah yang melarang wanita menjadi pemimpin tertinggi sebuah negara Islam.[22] Namun pada kepemimpinan selain posisi tersebut, sekiranya seorang wanita memiliki kemampuan dan syarat-syarat yang terpenuhi maka tidak ada halangan untuk menjadi pemimpin, baik berdasarkan al-Qur’ān maupun al-Sunnah. Meskipun demikian perbedaan interpretasi antara golongan Islamis dan tradisional atau konservatif, namun mereka tidak menafikan pandangan ulama konservatif tersebut atau menolak apalagi menggugat otoritas mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan liberal dan feminis.
Pada kasus lain, golongan feminis berpendapat bahwa makna persamaan adalah penyamarataan atau kesamaan hak dalam semua aspek kehidupan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Dengan pemahaman seperti ini, maka segala bentuk perbedaan pada masalah apapun dianggap diskriminasi. Olehnya itu, kaum feminis menyerukan hak wanita untuk menjadi Imam dan khatib pada salat jumat, hak menjadi pemimpin tertinggi (khalīfah), hak yang sama rata dalam harta waris, dan hak mentalak suami (melafazkan ucapan talak). Adapun golongan Islamis berpendapat, bahwa persamaan tidak selamanya bermakna penyamarataan. Dalam worldview Islam, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, yang berarti mempertimbangkan kesesuaian, kelayakan, kesediaan, dan fitrah insaniah, dalam memberikan amanah kepada seseorang pada posisi atau tugas tertentu.[23] Allah swt. berfirman :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah swt. menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah swt. memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS. al-Nisā (4) : 58).

Inilah yang mendasari pemberian tugas tertentu pada kaum lelaki dalam Islam, seperti mencari nafkah, berperang atau berjihad, dan memimpin kaum wanita. Perbedaan tugas dan tanggungjawab ini bukan merupakan suatu diskriminasi. Hal ini akan terlihat sebagai bentuk diskriminasi ketika dilihat dari perspektif paradigma Barat yang hanya mementingkan material, pangkat, dan status. Islam meletakkan nilai-nilai moral pada kedudukan yang sangat tinggi nan agung, nilai moral itulah yang kemudian mempengaruhi setiap ketentuan dan aturan-aturan syariat yang mengayomi seluruh aspek kehidupan umat manusia.
Islam memberikan persamaan antara lelaki dan wanita, dan prinsip ini diakui oleh seluruh cendekiawan Islam serta sebagian kaum feminis,[24] meskipun sebagian feminis lainnya mengatakan bahwa Islam adalah sama dengan agama samāwī lain yang misogynist. Konsep persamaan dan kesetaraan ini (equality) kemudian ditafsirkan berdasarkan paradigma yang berbeda, sehingga muncullah pertentangan di antara golongan Islamis dan feminis.
Ketika Islam kaum lelaki sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan wanita sebagai pengurus domestik dalam mendampingi tugas dan tanggungjawab suaminya, tidak bertujuan untuk merendahkan derajat kaum wanita. Sebab, hakikat kepemimpinan dalam Islam tidak ada kaitannya dengan kemuliaan dan kehinaan, seorang pemimpin tidak berarti lebih mulia dari yang dipimpinnya, begitu pula sebaliknya masyarakat yang dipimpin bukan menunjukkan kehinaan mereka di sisi pemimpinnya. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab, yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. pada Hari Perhitungan kelak. Sayyid Qutb berpendapat bahwa, kepemimpinan adalah suatu perkara yang sangat penting dalam sebuah keluarga sebagaimana pemimpin pada sebuah organisasi atau institusi, karena dapat membawa keluarganya mendapatkan kemajuan dan kesuksesan dunia dan akhirat. Tanpa kepemimpinan maka tidak ada kekuasaan dan tanggungjawab.[25]
Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (human values), yang merupakan kenikmatan dari Allah swt. dalam fitrah manusia. Islam juga memandang nilai-nilai yang ada pada hak asasi manusia dengan perspektif yang berbeda dari paradigma Barat, hal tersebut karena adanya perbedaan antara worldview Islam dan worldview Barat. Nilai-nilai persamaan, keadilan, kebebasan, etika, dan estetika, sangat dititikberatkan dalam Islam walaupun kurang diaktualisasikan oleh masyarakat Islam itu sendiri. Penyebabnya adalah, kurangnya perhatian dan adanya kelemahan umat Islam dalam memanifestasikan nilai-nilai Islam yang luhur dan murni berdasarkan nuṣūṣ al-syar’iyyah (al-Qur’ān dan al-Sunnah) yang bersifat global dan integral (syāmil dan mutakāmil), faktor utamanya adalah kejahilan mayoritas umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri dan konspirasi musuh-musuh Islam dalam mengaburkan pemahaman umat serta menjauhkan mereka dari pengamalan syariah Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau.
Inilah yang menyebabkan peradaban masyarakat Islam tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan, ketidakadilan dan diskriminasi muncul pada masyarakat Islam, bahkan fenomena diskriminasi terhadap kaum wanita menjadi ciri pada sebagian negeri kaum Muslimin, yang sebenarnya tidak memiliki dasar dalam landasan syariat, namun sebaliknya merupakan peninggalan dari tradisi nenek moyang dan adat masyarakat petriarki.

C.  KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis menyimpulkan beberapa poin, di antaranya :
1.        Secara umum, kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang (wave) yang mengangkat isu yang berbeda-beda, yaitu:
Gelombang pertama, ditandai dengan publikasi dari Mary Wollstonecraft yang berjudul “Vindication of The Rights of Women” tahun 1792, di antara landasan teorinya adalah:
a.         Feminisme Liberal
b.         Feminisme Radikal
Gelombang kedua, ditandai dengan publikasi dari Simone de Beauvoir’s yang berjudul “The Second Sex” tahun 1949, di antara landasan teorinya adalah :
a.         Feminisme Psikoanalisa
b.         Feminisme Eksistensialisme
Gelombang ketiga, dimulai pada tahun 1980, di antara landasan teorinya adalah :
a.         Feminisme Postmodern
b.         Feminisme Multikultural
2.        Dalam perspektif worldview sekuler, kemuliaan diukur berdasarkan aspek material sedangkan aspek spiritual tidak berarti apa-apa. Anggapan bahwa peranan wanita tidak bermakna bila dibandingkan dengan kaum lelaki adalah penilaian yang materialistik. Suatu peranan akan dianggap dan dinilai bermakna hanya dari sisi material sedangkan sumbangan yang non-material dianggap tidak penting dan tidak berfaedah. Sedangkan dalam perspektif Islam, seusngguhnya Allah swt. tidak menilai seorang hamba hanya pada sisi material belaka, namun hakikat sebenarnya adalah pada usaha dan keikhlasannya. Oleh karena itu, seyogyanya bagi setiap Muslim ketika akan memberikan interpretasi pada suatu perkara, apakah bermakna atau tidak, harus dilihat dari kacamata Islam yang holistik dan bukan dualistik.
3.        Perbedaan pendapat dalam Islam ketika menyingkapi nuṣūṣ syar’iyyah (dalil normatif) adalah suatu keniscayaan, tergantung landasan argumentasi dan metode interpretasi yang digunakan, serta pada wilayah mana perbedaan tersebut muncul. Pada banyak problem khilāfiyyah, golongan Islamis (menurut sebagian pemikir Islam menamakannya dengan Islam Moderat) mengambil pendekatan pertengahan di antara konservatif, liberal, serta feminis.


***
Kasman Bakry
Jurnal ALMUSAWA IAIN PALU, 2014




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ān.

Al-Aqqad, Abbas Mahmud. Al-Mar’ah fī al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1969.

Ali, Suki. Kelly Coat, dan Wangui wa Goro. Global Feminist Politics: Identities in Changing World. New York: Routledge, 2000.

Al-Maududi, Abul A’la. Al-Hijāb. Cet. VIII; Bandung: Gema Risalah Press, 1995.

Al-Qardhawy, Yusuf. Al-Siyāsah al-Syar’iyyah fī Ḍau’ al-Nuṣūṣ al-Syarī’ah wa Maqāṣidihā. Kairo: Maktabah Wahbah, 1998.

______________ Min Fiqhi al-Daulah fī al-Islām. Kairo: Dār al-Ṣurūq, 1996.

______________ Sanggahan Salah Tafsiran Islam, Terj. Kajang: Synergymate, 2004.

Arivia, Gadis. Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berperspektif Feminis. Disertasi. Depok: UI Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002.

Badawi, Jamal. The Status of Woman in Islām. Riyadh: World Assembly of Moslim Youth, 2000.

Badran, Margot. dan Mirian Cooke (ed). Opening the Gates: A Century of Arab Feminist Writings. London: Virago Press, 1990.

Beasley, Chris. What is Feminisme ? An Introduction to Feminist Theory. NSW: Sage Publication, 1999.

Darwazah, Muhammad Izzat. Al-Mar’ah fī al-Qur’ān wa al-Sunnah. Beirut: al-Maktabah al-‘Ariyyah, t.th.

Husaini, Adian. Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Izzat, Hibah Rauf. Penglibatan Wanita dalam Politik Mengikut Perspektif Islam. Kualalumpur: IIIT, 1997.

Jamal, Ahmad Muhammad. Jejak Sukses 30 Wanita Beriman. Surabaya: Pustaka Progressif, 1991.

Kurzman, Charles. Liberal Islam: A Source Book. London: Oxford University Press, 1998.

McKay, John P., Bennet D. Hill, and John Buckler. A History of Western Society, Ed. II; Boston: Houghton Mifflin Company, 1983.

Muhsin, Aminah Wadud. Qur’an and Women. Kualalumpur: Penerbit Fajar Bakti, 1992.

Parawansa, Khofifah Indar. Mengukur Paradigma Menembus Tradisi. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006

Qutb, Sayyid. Al-Islām wa Musykilāt al-Ḥaḍārah. Cet. XII; Kairo: Dār al-Shurūq, 1993.

_____________ Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Juz. V; Kairo: Dār al-Shurūq, 1997.

Rowbotham, Sheila. Woman in Movement: Feminism and Social Action. New York: Rountledge, 1992.




[1]Margot Badran dan Mirian Cooke (ed), Opening the Gates: A Century of Arab Feminist Writings, (Lodon: Virago Press, 1990), h. 353.
Mufti yang dimaksud adalah Syekh Hasanayn Muhammad Makhluf, mufti Mesir pada tahun 1952. Walaupun demikian, fatwa ini juga menimbulkan kontroversi di kalangan ulama Islam pada masa tersebut.
[2]Aminah Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (Kualalumpur: Penerbit Fajar Bakti, 1992), h. v., Lihat juga: Charles Kurzman, Liberal Islam: A Source Book, (London: Oxford University Press, 1998), h. 130.
[3]Yusuf Al-Qardhawy, Min Fiqhi al-Daulah fī al-Islām, (Kairo: Dār al-Ṣurūq, 1996), h. 9. Lihat juga : Yusuf Al-Qardhawy, al-Siyāsah al-Syar’iyyah fī Ḍau’ al-Nuṣūṣ al-Syarī’ah wa Maqāṣidihā”, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), h. 30., Yusuf Al-Qardhawy, Sanggahan Salah Tafsiran Islam, Terj. (Kajang: Synergymate, 2004), h. viii.
[4]Nighat Said Khan, dalam Suki Ali, Kelly Coat, dan Wangui wa Goro, Global Feminist Politics: Identities in Changing World, (New York: Routledge, 2000), h. 5.
[5]Endang W. Ramli, dalam Khofifah Indar Parawansa, Mengukur Paradigma Menembus Tradisi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), h. xxvii.
[6]Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 158-159.
[7]John P. McKay, Bennet D. Hill, and John Buckler, A History of Western Society, Ed. II, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1983), h. 437-541.
[8]Abul A’la al-Maududi, al-Hijāb, Cet. VIII; (Bandung: Gema Risalah Press, 1995), h. 23.
[9]Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berperspektif Feminis, Disertasi, (Depok: UI Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002), h. 95.
[10]Abul A’la al-Maududi, Loc. Cit.
[11]Ibid., h. 52.
[12]Gadis Arivia, op. Cit., h. 20.
[13]Sheila Rowbotham, Woman in Movement: Feminism and Social Action, (New York: Rountledge, 1992), h. 11.
[14]Gadis Arivia, Loc. Cit.
[15]Sheila Rowbotham, op. Cit., h. 8.
[16]Ahmad Muhammad Jamal, Jejak Sukses 30 Wanita Beriman, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1991), h. 1.
[17]Chris Beasley, What is Feminisme ? An Introduction to Feminist Theory, (NSW: Sage Publication, 1999), h. 27.
[18]What is right or wrong and good or bad is not absolute but variable and relative, depending on the person, circumstance, or social situation. Lihat : Encyclopaedia Britannica 2001.
[19]Aminah Wadud Muhsin, op. Cit., h. 90.
[20]Hibah Rauf Izzat, Penglibatan Wanita dalam Politik Mengikut Perspektif Islam, (Kualalumpur: IIIT, 1997), h. 165.
[21]Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Mar’ah fī al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1969), h. 10.
[22]Yusuf al-Qardhawy, op. Cit., h. 165. Lihat juga: Muhammad Izzat Darwazah,              al-Mar’ah fī al-Qur’ān wa al-Sunnah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ariyyah, t.th.), h. 49.; Jamal Badawi, The Status of Woman in Islām, (Riyadh: World Assembly of Moslim Youth, 2000).
[23]Yusuf al-Qardhawy, Ibid., h. 162.
[24]Sayyid Qutb, al-Islām wa Musykilāt al-Ḥaḍārah, Cet. XII; (Kairo: Dār al-Shurūq, 1993), h. 66-72.
[25]Sayyid Qutb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Juz. V., (Kairo: Dār al-Shurūq, 1997), h. 649-652.