Berdasarkan tinjauan historisnya, kaidah-kaidah fiqh bukanlah merupakan hal
baru dalam Islam. Kaidah-kaidah tersebut telah ada sebelum ia dikenal sebagai
salah satu dari disiplin ilmu Islam (Islamic Studies), bahkan kaidah-kaidah
fiqh itu tumbuh seiring sejalan dengan proses awal diturunkannya syari’at,
sejak turunnya wahyu Allah SWT kepada Nabi saw, karena sesungguhnya di antara
ayat-ayat al-Qur’ān dan Ḥadīś-ḥadīś Nabi saw ada yang merupakan kaidah, dari
kaidah tersebut terpancar berbagai cabang dan permasalahan fiqh yang banyak.
Sebagai contoh, Allah SWT berfirman dalam al-Qur’ān yang berbunyi:
“Jadilah engkau pema'af
dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh”.(QS. al-A’raaf (7):199).[1]
Imām al-Qurţubī[2] berkata:
“Dalam ayat ini terdapat tiga kalimat, yang meliputi kaidah-kaidah syari’at
mengenai perintah dan larangan, firman Allah SWT É uqøÿyèø9$# è{ tercakup
di dalamnya hubungan orang-orang yang saling memutuskan persaudaraan, pengampunan bagi orang-orang yang berdosa,
lemah lembut kepada orang-orang beriman, dan lain sebagainya yang merupakan
akhlak orang-orang yang taat. Dan firman Allah SWT Å$óãèø9$$Î/ óßDù&ur tercakup
di dalamnya hubungan silaturrahim, bertakwa kepada Allah SWT dalam permasalahan
halal dan haram, menundukkan pandangan, mempersiapkan diri untuk kehidupan
akhirat. Dan firman Allah SWT óúüÎ=Îg»pgø:$# Ç`tã ÚÌôãr&ur tercakup di
dalamnya motifasi untuk menuntut ilmu, menjauhkan diri dari orang-orang yang
zhalim, menghindari diskusi dengan orang-orang yang bodoh, dan lain sebagainya
yang merupakan akhlak yang terpuji dan perbuatan yang baik.[3]
Demikian pula firman Allah SWT dalam al-Qur’ān yang berbunyi:
”Dan jika kamu memberikan
balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu”. (QS. al-Naḥl (16):126).[4]
Berkata Ibnu Jarīr[5]
mengenai ayat ini: ”Allah SWT berfirman kepada orang-orang beriman, ”dan jika
kalian wahai kaum mukminin memberikan hukuman kepada siapa yang telah menzalimi
kalian, maka hendaknya kalian menghukumnya sama seperti apa yang ia lakukan
kepada kalian”.[6]
Pada ayat yang lain, Allah SWT
berfirman:
“Barangsiapa yang menyerang kamu,
Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. (QS. al-Baqarah (2):194).[7]
Al-Qurţubī berkata ketika menjelaskan
sebagian hukum yang terdapat dalam ayat di atas: “Tidak terdapat perdebatan (khilāf) di
kalangan para ulama bahwasanya ayat ini merupakan dasar hukum menyamakan
hukuman balasan dalam qişāş …”.[8]
Dan juga firman Allah SWT dalam al-Qur’ān, yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. al-Mā’idah (5):90).[9]
Berkata Ibnu al-Qayyim[10]:
“Termasuk kategori khamr adalah
setiap yang memabukkan, baik yang berbentuk benda keras atau benda cair,
terbuat dari anggur atau selainnya. Dan termasuk kategori judi, adalah segala
jalan untuk mendapatkan harta dengan cara yang bathil, dan setiap perbuatan
yang diharamkan yang dapat mengakibatkan permusuhan, kebencian, dan memalingkan
hamba dari berzikir kepada Allah SWT dan memalingkan dari shalat”.[11]
Adapun dalam Sunnah, maka terdapat banyak Ḥadīś yang menjadi landasan utama
kaidah-kaidah fiqh, sehingga terpancar darinya kaidah-kaidah cabang (furū’) lainnya pada berbagai
permasalahan, di antara sekian banyak Ḥadīś tersebut, dapat disebutkan beberapa
di antaranya sebagai berikut:
Sabda Nabi saw: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ“sesungguhnya setiap amal perbuatan
tergantung kepada niatnya”,[12] Ḥadīś
ini merupakan dasar utama yang menghasilkan kaidah (al-umūru
bimaqāşidihā).
Sabda Nabi saw: لاَ
ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ “tidak ada bahaya dan tidak ada yang
membahayakan”,[13] Ḥadīś ini merupakan dalil utama yang
melahirkan kaidah al-ḍararu yuzāl.
Ḥadīś-ḥadīś di atas memberikan indikasi sudah adanya kaidah-kaidah fiqh di
masa kenabian, di antaranya ada yang berupa kaidah pokok, dan sebagian lainnya
merupakan kaidah cabang yang bersumber dari kaidah pokok tersebut, dan di
antaranya juga terdapat ḍābiţ pada
satu bab tertentu dari sekian banyak bab-bab pembahasan dalam wacana fiqh,
semua kaidah dan ḍābiţ tersebut
merupakan substansi dari kesempurnaan perkataan Nabi saw
Pada sisi yang lain, perkataan para ulama salaf dari kalangan Sahabat dan
tabi’īn, juga telah memberikan deskripsi yang jelas tentang adanya
kaidah-kaidah fiqh di masa mereka, di mana kaidah-kaidah fiqh tersebut mereka
aplikasikan dan difahami dengan sangat baik, sehingga hal itu menjadi landasan
bagi mereka dalam ber-qaḍā’ dan ber-fatwā. Di antara contohnya dapat disebutkan antara lain:
1. Surat yang dituliskan ‘Umar ibn al-Khaţţāb
ra. kepada Abū Mūsa al-‘Asy’arī ra. tentang al-Qaḍā’, di dalamnya disebutkan:
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ
وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ,
وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ
إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً
“…Bukti harus didatangkan oleh si penuduh, dan yang
mengingkarinya harus bersumpah, dan perdamaian merupakan sesuatu yang
dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan
sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal…”[14]
Kedua
kalimat yang terdapat dalam surat
’Umar ra. tersebut pada hakikatnya merupakan Ḥadīś dari Nabi saw yang merupakan
ḍābiţ pada permasalahan tersebut. Ḥadīś
itu dijadikan dasar hukum bagi ’Umar ra. Pada permasalahan al-Qaḍā’ (peradilan), yaitu pada persoalan tuduhan dan bukti, serta
pada persoalan adanya perdamaian. Hal itu menunjukkan pengetahuan ‘Umar ra. dalam
memahami sabda Nabi saw sehingga menjadikannya sebagai kaidah atau ḍābiţ, juga merupakan bukti nyata pemahaman
para Sahabat mengenai nuşūş al-syara’ serta
bentuk aplikasi dan implementasinya dalam interpretasi hukum Islam (wacana fiqh).
Ibnu al-Qayyim setelah menyebutkan surat tersebut di atas, beliau berkomentar: ”Sungguh ini surat yang agung, yang
diterima oleh para ulama, kemudian dibangun di atasnya dasar-dasar hukum dan
persaksian, bagi para hakim dan mufti sangat membutuhkannya agar dapat ditelaah
dan dipelajari dengan dalam”[15]
2. Berkata ’Umar
ibn al-Khaţţāb ra.: إِنَّ مَقَاطِعَ الْحُقُوْقِ عِنْدَ الشُّرُوْطِ , وَلَكَ
مَا شَرَطْتَ ”Sesungguhnya hal-hal
yang memutuskan hak yaitu ketika disyaratkan, dan bagimu apa yang kamu
syaratkan”.[16]
3. Berkata ’Umar
ibn al-Khaţţāb ra.: الإِنْحَالُ مِيْرَاثٌ مَالَمْ يُقْبَضْ “Pemberian pada hakikatnya adalah
harta warisan yang belum dimiliki ”.[17]
4. Berkata Ibnu
Mas’ūd ra.[18]: يُحْرَمُ مِنَ الإِمَاءِ مَا يُحْرَمُ مِنَ الْحَرَائِرِ
إِلاَّ الْعَدَدَ ”Segala yang diharamkan atas budak
wanita sama dengan yang diharamkan atas wanita merdeka, kecuali dari sisi
jumlah”.[19]
5. Berkata ’Uśmān
ibn ’Affān ra.,[20] Ibnu ’Umar ra.,[21] dan Ibnu ’Abbās ra.: لاَ تَجُوْزُ صَدَقَةٌ حَتَّى تُقْبَضَ ”Tidak
diperbolehkan bersedekah hingga harta tersebut telah menjadi hak milik”.[22]
6.
Berkata Syuraiḥ
al-Qāḍī ra.[23]:
فَصْلُ
الْخِطَابِ : الشَّاهِدَانِ عَلَى الْمُدَّعِيْ, وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ
أَنْكَرَ ”Hasil keputusan berdasarkan dua orang
saksi dari penuduh dan pengambilan sumpah bagi yang mengingkari (tertuduh)”.[24]
7. Syuraiḥ al-Qaḍī
juga berkata: مَنْ شَرَطَ عَلَى نَفْسِهِ طَائِعًا غَيْرُ مُكْرَهٍ ,
فَهُوَ عَلَيْهِ ”siapa yang
mensyaratkan bagi dirinya untuk tunduk atau taat tanpa adanya paksaan, maka
syarat itu berlaku baginya”[25]
8. Berkata al-Ḥasan
al-Başrī[26]: إِذَا اخْتَلَفَ الرَّهِنُ وَ الْمُرْتَهِنُ , فَالْقَوْلُ
قَوْلُ الرَّاهِنِ ”Apabila
terjadi perselisihan antara si penggadai (penjamin) dan yang memegang jaminan,
maka yang menjadi pegangan adalah pernyataan si penjamin”[27]
9.
Berkata al-Sya’bī[28]: لَيْسَ عَلَى الْمَطْلُوْبِ بَيِّنَةٌ ”Orang
yang dibutuhkan (dimintai keterangan) tidak harus mendatangkan bukti”[29]
10. Berkata Masrūq[30]
dan Syuraiḥ : لاَ تَجُوْزُ شَهَادَةٌ عَلَى شَهَادَةٍ فِيْ حَدٍّ, وَلاَ
يُكَفَّلُ فِيْ حَدٍّ
”Tidak diperbolehkan adanya persaksian di atas persaksian dalam masalah al-ḥadd,
dan tidak ada jaminan di dalamnya”.[31]
11.
Berkata ’Aţā’[32]
dan Ţāwūs[33]: لاَ تَجُوْزُ شَهَادَةٌ عَلَى شَهَادَةٍ فِيْ حَدٍّ ”Tidak
diperbolehkan adanya persaksian di atas persaksian dalam masalah al-ḥadd”.[34]
Berbagai pendapat di atas menunjukkan pemahaman dan pengetahuan para salaf
baik dari kalangan Sahabat maupun Tābi’īn tentang kaidah-kaidah fiqh, dan
mereka mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka secara ilmiyah dan amaliyah,
di antara mereka, ada yang menjadikan perkataan tersebut di atas sebagai suatu ḍābiţ
pada salah satu bab pembahasan fiqh sebagaimana perkataan Imām al-Sya’bī,
dan ada yang menjadikannya sebagai salah satu kaidah fiqh sebagaimana perkataan
’Umar ibn al-Khaţţāb ra., dan ada pula yang menjadikan kaidah atau ḍābiţ berdasarkan
apa yang dipahaminya dari hukum-hukum syari’at sebagaimana dalam perkataan al-Ḥasan
al-Başrī. Dengan demikian, walaupun kaidah-kaidah fiqh belum dikenal sebagai
salah satu disiplin ilmu Islam pada masa mereka, namun hal itu telah ada di
dalam dada, pengetahuan, dan pemahaman, serta telah diaplikasikan dalam
kehidupan mereka di masa itu.
Setelah berlangsung beberapa tahun kemudian, dengan berakhirnya masa
keemasan Islam, tiga generasi mulia (Sahabat, Tabi’īn, dan Tābi’ al-Tabi’īn), periodesasi sejarah pun mulai
memasuki ’aşru al-tadwīn (masa kodifikasi) dalam berbagai disiplin ilmu
Islam, khususnya pada masa kodifikasi buku-buku fiqh dan munculnya
keanekaragaman mażhab fiqh. Maka bermunculan buku-buku para ulama ketika itu
yang membahas mengenai ḍawābiţ dan kaidah-kaidah fiqh. Di antaranya buku
yang berjudul al-Kharrāj yang ditulis oleh Imām Abū Yūsuf[35]
murid dari Imām Abū Ḥanīfah[36],
dan juga buku al-Aşlu yang ditulis oleh Muḥammad ibn al-Ḥasan al-Syaibānī[37]
yang juga merupakan salah satu murid terbaik Abū Ḥanīfah, juga buku al-Mudauwanah
yang beraliran mażhab fiqh Imām Mālik, serta buku al-Umm yang
dikarang oleh Imām al-Syāfi’ī. Buku-buku di atas merupakan buku-buku perdana
yang ditulis dalam disiplin ilmu fiqh, namun di dalamnya juga disebutkan
berbagai kaidah-kaidah fiqh dan ḍawābiţ fiqh. Demikian pula buku yang
berjudul al-Masā’il yang diriwayatkan oleh Abū Dawūd Sulaimān ibn
al-Asy’aś[38] dari Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, secara eksplisit
juga menyebutkan beberapa kaidah-kaidah fiqh tersebut.
Adapun pembukuan ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh)
sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan terlepas dari ilmu fiqh, maka
dengan menelaah buku-buku yang membahas mengenai ilmu ini, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ulama-ulama mażhab Ḥanafi lah yang pertama kali membukukan al-qawā’id
al-fiqhiyyah sebagai suatu disiplin
ilmu yang mandiri.
Di antara ulama-ulama tersebut, salah satunya adalah Abū Ţāhir al-Dibās. Disebutkan bahwasanya Imām
Abū Ţāhir al-Dibās[39]
salah seorang tokoh mażhab Ḥanāfiyah, yang bermukim di daerah yang dikenal
dengan negeri ”Mā Warā’a al-Naḥar”, berhasil menyimpulkan fiqh mażhab Ḥanāfiyah,
kedalam empat belas kaidah fiqh, ketika berita itu didengar oleh Imām Abū Sa’īd
al-Harawi beliau segera bersafar kepada al-Dibās. Abū Ţāhir al-Dibās adalah
orang yang buta (tidak melihat), ia kemudian sering mengulang-ulangi empat
belas kaidah tersebut setiap malam di masjid ketika masjid dalam keadaan
kosong, al-Harawi kemudian menyiapkan posisinya, sementara semua jama’ah telah
keluar masjid, lalu al-Dibās pun mengunci pintu masjid. Ia kemudian sempat
mengulangi tujuh dari kaidah-kaidah fiqh tersebut, kaidah itupun didengar oleh
al-Harawi dan dihapalkannya, namun hal itu diketahui oleh al-Dibās sehingga ia memukul al-Harawy dan mengeluarkannya
dari masjid, sejak saat itu, al-Dibās
tidak pernah lagi mengulangi kebiasaannya itu. Adapun al-Harawi, maka ia
kembali kepada sahabat-sahabatnya dan menyebarkan tujuh kaidah yang telah
didengarnya dari al-Dibās tersebut.[40]
Berita dan kejadian di atas didengar oleh al-Qāḍī Husain[41],
ia pun kemudian berusaha mengumpulkan fiqh mażhab Syāfi’iyah dan berhasil
menyimpulkannya kedalam
empat kaidah besar, yaitu:
1. Keyakinan
tidak dapat dihilangkan oleh keraguan ( الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ ).
2. Kesulitan
mendatangkan kemudahan ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
).
3. Kemudaratan
harus dihilangkan ( الضَّرَرُ يُزَالُ ).
Keempat
kaidah tersebut, di kemudian hari menjadi cikal bakal munculnya al-qawā’id
al-khamsu al-kubrā,
setelah
beberapa ulama fiqh mażhab Syāfi’ī menambahkan satu kaidah
lagi yaitu: ( الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
) “Hukum setiap perkara tergantung kepada
maksudnya”,
sehingga kesemuanya menjadi lima
kaidah fiqh yang pokok dan disepakati oleh ulama-ulama mażhab Syāfi’ī.
Kitab pertama yang
dibukukan dalam disiplin ilmu kaidah-kaidah fiqh secara khusus adalah Uşūl
al-Karkhī oleh Imām Abū al-Ḥasan al-Karkhī[43],
beliau mengumpulkan di dalam bukunya tersebut tiga puluh tujuh (37) kaidah,
setelah itu muncul buku Uşūl al-Futyā oleh Imām Muhammad ibn al-Ḥariś
al-Khasyānī al-Qairuwānī al-Mālikī[44],
kemudian menyuşūl buku Ta’sīs al-naẓar oleh Imām Abū Zaid al-Dābūsī al-Ḥanafī[45]
yang didalamnya terhimpun delapan puluh enam (86) kaidah, kemudian menjamur
setelah itu buku-buku yang membahas secara khusus disiplin ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah
dalam prespektif berbagai mażhab, di antaranya ada yang memiliki
penjelasan yang panjang, ada yang berupa iktişār (kesimpulan), dan di
antaranya ada yang merupakan penjelasan kembali (syarah) terhadap
kitab-kitab yang ringkas.[46]
[1]Kementrian
Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia,
op. cit., h. 255.
[2]Abū
‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakar ibn Farah al-Anşārī al-Khazrajī
al-Qurţubī, wafat di Mesir tahun 671 H.,
Lihat: Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Farḥūn al-Mālikī, op. cit., h.
406.; Abū
al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī, Juz. V., op. cit., h. 335.
[3]Abū
‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Anşārī al-Qurţubī, al-Jāmi’ Li Aḥkāmi
al-Qur’ān, Juz. VII., (t. Cet; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Arabī, t. th.), h. 344.
[4]Kementrian
Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op.
cit., h. 421.
[5]Muḥammad
ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kaśīr ibn Gālib, Abū Ja’far al-Ţabarī, seorang mujtahid
muţlaq dan Imāmnya para ahli tafsir, lahir di Āmal Ţurbustān tahun 224 H.
dan wafat di Baghdād tahun 310 H., Lihat: Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn
al-‘Imād al-Ḥanbalī, Juz. II., op.
cit., h. 260.; Abū Naşr ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali al-Subkī, Ţabaqāt
al-Syāfi’iyyah al-Kubrā, Juz. III., (Cet. I; Mesir: Maţba’ah ’Īsā al-Bābī
al-Ḥalabī, 1383 H.), h. 120.
[6]Abū
Ja’far Muḥammad ibn Jarīr al-Ţabarī, Jāmi’u al-Bayān ‘An Ta’wīli Āyi al-Qur’ān, Juz. XIV., (t. Cet.
Beirūt: Dār al-Fikr, 1405 H.), h. 195.
[7]Kementrian
Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op.
cit., h. 47.
[8]Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Anşārī
al-Qurţubī, Juz. II., op. cit., h. 358.
[9]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf,
Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., h. 176.
[10]Muḥammad ibn Abū Bakar ibn Ayyūb ibn Sa’ad
ibn Harīz al-Zar’ī al-Aşl al-Dimasyqī, Syamsuddīn Abū ‘Abdillāh, lebih dikenal
dengan nama Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, (691 H.- 751 H.). Lihat: Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī, Juz. VI., op. cit., h.168.
[11]Syamsuddīn Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Abī
Bakar – Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah -, I’lām
al-Muwaqqi’īn ‘An Rabbi al-’Ālamīn, Juz.
I., (t. Cet; Beirūt: Dār al-Jīl, t. th.), h. 334.
[13]Dikeluarkan oleh Imām Aḥmad (1/313), Ibnu
Mājah (2/784), Dari Ḥadīś Ibnu ‘Abbās, dan al-Ḥākim dalam al-Mustadrak (2/57-58), al-Baihaqī dalam Sunan al-Kubrā (6/69),
al-Dāruquţnī dalam al-Sunan (3/77),
semuanya berasal Dari Ḥadīś Abī Sa’īd.
[14]Surat ‘Umar ra. kepada Abū Musa ra.
Tentang permasalahan al-Qaḍā’. Dikeluarkan
oleh al-Baihaqī dalam Sunan al-Kubra (10/119,135),
dan dalam al-Ma’rifah (7/366-367), al-Dāraquţnī (4/206-207),
disebutkan pula oleh Ibnu al-Qayyim, op. cit., h. 86,; Dan di-şaḥiḥ-kan oleh al-Albānī dalam Irwā’u al-Galīl (8/241).
[15]Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, ibid.
[16]Dikeluarkan oleh al-Bukhārī secara mauqūf dalam bab “syarat-syarat mahar ketika pada
saat aqad nikah” (5/322 – 9/217), Ibnu Abū Syaibah dalam Muşannaf-nya no. 16449
(3/499), Sa’īd ibn Manşūr dalam Sunan-nya
no. 662 (1/181).
[17]Dikeluarkan oleh al-Baihaqī dalam kitab Syurūţ
al-Qabḍi fī al-Hibah, (6/170).
[18]‘Abdullāh ibn Mas’ūd ibn Gāfil ibn Ḥabīb
ibn Syamkh ibn Makhzūm ibn Şāḥilah ibn Kāhil ibn al-Ḥāriś ibn Tamīm al-Hużalī,
Abū ‘Abdirraḥmān, Sahabat yang mulia, seorang faqīh umat ini, tergolong orang-orang awal yang memeluk Islam, ikut
serta dalam peperangan Badar dan
peperangan-peperangan lainnya, wafat di Madinah tahun 32 H. dan ada pendapat
selain itu. Lihat: Syamsuddīn ibn
Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Syiaru A’lāmi al-Nubalā’, Juz.
I., (Cet. II; Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1422 H./2001 M.), h. 461.;
Syihābuddīn Aḥmad ibn ‘Alī ibn Ḥajar al-Asqalānī, Kitāb Tahżību al-Tahżīb, Juz.
VI., (Cet. I; Beirūt: Dār al-Fikr, 1404 H./1984 M.), h. 27-28.; Aḥmad ibn Ali
ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, al-Işābatu fī
Tamyīz al-Şaḥābah, Juz. IV., (t. Cet; Beirūt: Dār al-‘Ilm al-Malayīn, t. th), h. 129.
[19]Dikeluarkan oleh al-Baihaqī dalam kitab Nikah (7/163).
[20]‘Uśmān ibn ‘Affān ibn Abī al-Āş ibn
‘Umayyah ibn Abī Syams al-Qurasī al-Umawī, Abū ‘Abdillāh dan Abū ‘Amr, Amirul
mukminin dan khalifah yang ketiga, salah seorang yang diberikan kabar gembira
oleh Nabi saw dengan surga, yang dikenal
dengan julukan “Żunnurain” sebab ia adalah menantu Rasūlullāh saw Dari kedua
putri beliau (Ruqayyah dan Ummu Kulśūm), beliau lahir 6 tahun setelah peristiwa
gajah dan beliau dibunuh pada tahun 35 H. dengan masa jabatan kurang lebih 12
tahun. Lihat: Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, al-Işābah, op. cit., h. 223.; Jalāluddīn al-Suyūţī, Tārīkh
al-Khulafā’, (Cet. I; Riyādh: Dār Ţaiyyibah, 1416 H.) h. 156.
[21]‘Abdullāh ibn ‘Umar ibn al-Khaţţāb ibn
Nufail ibn ‘Abdil ‘Uzza ibn Riyāḥ ibn Qarţ ibn Razāh al-Qurasī al-‘Adawī, Abū
‘Abdiraḥmān, Sahabat Nabi saw yang dikenal sebagai fuqahā’ dan ulamā’ Madinah,
masuk Islam di mana kecil dan berhijrah mengikuti ayahnya, dianggap anak kecil
oleh Nabi saw sehingga tidak diizinkan mengikuti perang Badar , kemudian beliau
ikut dalam peperangan Khandak dan berbagai peperangan setelahnya, wafat tahun
73 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad
ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. III., op.
cit., h. 203.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb, Juz. V.,
op. cit., h. 328.; Aḥmad ibn
Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, al-Işābah, ibid., h.
108.
[22]Dikeluarkan oleh
al-Baihaqī dalam kitab
Hibah, bab Syarat
kepemilikan dalam hibah (6/170).
[23]Syuraiḥ ibn Hāni’ ibn Yazīd ibn Nuhaik
atau al-Ḥāriś ibn Ka’ab al-Ḥāriśī al-Mużhajī, Abū al-Miqdām, salah seorang fuqahā’ Kuffah, sempat mendapatkan zaman
kenabian tetapi tidak bertemu dengan Nabi saw beliau adalah sahabat dekat Ali
ibn Abī Ţalib ra. dan diangkat menjadi Qāḍī di masa pemerintahan Ali ra.,
beliau dibunuh pada tahun 78 H. di daerah Sajistān. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz.
IV., op.
cit., h. 107.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību
al-Tahżīb, Juz. IV., op. cit.,
h. 330.;
[24]Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzāq dalam Muşannaf-nya, Kitab Jual Beli no. 15190
(8/273).
[26]al-Ḥasan ibn Abī al-Ḥasan Yasār al-Başrī,
Abū Sa’īd Maula al-Anşārī, beliau lahir 2 tahun sebelum berakhir masa jabatan
‘Umar ra., di masanya ia dikenal dengan keilmuan dan pengamalannya. wafat tahun
110 H. Lihat: Syamsuddīn ibn
Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar al-A’lām, op. cit., h. 563.; Aḥmad ibn Ali ibn
Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb, Juz. II., op. cit., h. 263.; Abū ‘Abdillāh
Syamsuddīn al-Żahabī, Tażkirah al-Ḥuffāẓ, Juz. I., (t. Cet; tt.: Dār Iḥyā’ al-Turāś al-‘Arabī, t. th.) h, 71.
[28]‘Amir ibn Syarāhīl ibn ‘Abd/’Amir ibn
‘Abdillāh ibn Syarāhīl al-Sya’bī al-Humairī Abū ‘Amr al-Kūfī,
salah seorang dari kalangan Tabi’īn (19 H. – 109 H.). Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān
al-Żahabī, Siyar al-A’lām, op.
cit., h. 294.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb, Juz. V., op. cit., h. 65.
[30]Masrūq ibn Ajdā’ ibn Mālik ibn Umayyah ibn
‘Abdillāh ibn Murr ibn Salāmān ibn Ma’mar ibn al-Ḥāriś ibn Sa’ad al-Hamadānī
al-Wadā’ī al-Kūfī, Abū ‘Ā’isyah, Tabi’īn
Mukhadram (orang yang beriman dan hidup dizaman Nabi tetapi tidak
bertemu dengan Nabi saw), seorang ulamā’ yang faqīh, wafat tahun 62 H.
atau 63 H. Lihat: Syamsuddīn
ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar al-A’lām, op. cit., h. 63.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb, Juz. X., op.
cit., h. 109.
[32]‘Aţā’ ibn Abī Rabāh, namanya Aslam
al-Qurasī, Abū Muḥammad al-Makkī, salah seorang fuqahā’ Dari kalangan
Tab’īn, Lahir pada tahun ke-2 di masa pemerintahan ‘Uśmān ra, dan wafat pada
tahun 114 H. walaupun terdapat perpedaan perndapat tentang tahun kelahirannya. Lihat:
Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar al-A’lām, Juz.
V., op. cit., h. 78.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb, Juz. VII., op.
cit., h. 199.
[33]Ţāwūs ibn Kīsān al-Yamānī, Abū
‘Abdirraḥmān al-Ḥumairī al-Jundī, pendapat lain mengatakan namanya adalah.
Żakwān, adapun Ţāwūs adalah julukannya, dari kalangan fuqahā’ Tabi’īn,
wafat di Mekah tahun 106 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn
‘Uśmān al-Żahabī, ibid., h.
38.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Juz. V., ibid., h. 8.
[35]Ya’qūb ibn Ibrāhīm ibn Ḥubaib ibn Ḥubaisī
ibn Sa’ad ibn Bujair ibn Mu’āwiyah
al-Anşārī al-Kūfī, Abū Yūsuf, lahir pada tahun 113 H. dan wafat tahun
182 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar
al-A’lām, Juz. VIII., op. cit., h. 535.;
[36]al-Nu’mān ibn Śābit ibn Zauţī al-Taimī
al-Kūfī, maula Banī Tamīmillāh ibn Śa’labah, dikatakan bahwasanya beliau adalah
keturunan asli Persia, seorang Imām dan faqīh negeri Iraq, madrasah yang
beliau dirikan sangat terkenal dengan istilah madrasah ahli al-ra’yi, dan
kepadanya dinisbatkan mażhab Ḥanafiyyah, dilahirkan tahun 80 H. semasa dengan
para sahabat kecil, dan beliau sempat melihat Anas ibn Mālik ketika beliau
berkunjung ke Kufah, dan beliau wafat tahun 150 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān
al-Żahabī, Juz. VI., ibid., h. 390.; Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād
al-Ḥanbalī, Juz. I., op. cit., h.
227.
[37]Muḥammad ibn al-Ḥasan ibn Farqad
al-Syaibānī al-Kūfī, Abū ‘Abdillāh, murid dari Imām Abū Ḥanīfah, lahir di kota
Wāsiţ tahun 132 H. kemudian beliau tumbuh di kota Kufah dan akhirnya tinggal di
Baghdād,wafat di kota Rai tahun 189 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad
ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz.
IX., ibid., h. 134.;
[38]Sulaimān ibn al-Asy’aś ibn Syadād ibn ‘Amr
ibn ‘Āmir, al-Imām Abū Dawūd al-Azdī al-Sajistāny, Syekh al-Sunnah, pemuka
para penghapal Ḥadīśt, Muḥaddist kota Bashrah, lahir tahun 202 H. dan
wafat tahun 275 H. Lihat: Juz. XIII., Ibid., h. 203.
[39]Muḥammad ibn Muḥammad ibn Sufyan, Abū
Thahir al-Dibās, Imām Ahlu al-Ra’yi Iraq di zamannya, pernah menjadi Qāḍī di
Syam, kemudian ia pergi ke Mekah dan wafat di sana. Lihat: Abū
al-Ḥasanāt Muḥammad ibn ‘Abdul Hay al-Kanawī al-Hindī, al-Fawā’idu al-Bahiyyatu fī Tarājimi
al-Ḥanafiyyah , (t. Cet; Beirūt: Dār al-Ma’rifah, 1323 H.), h. 187.
[40]Jalaluddīn 'Abdurraḥmān bin Abī Bakar
al-Suyūţī, op. cit., h. 7.; Kisah ini masih diragukan keabsahannya,
sebab tidak pantas perbuatan seperti itu dilakukan oleh seorang ulamā’, apalagi
menyembunyikan ilmu, Wallahu a’lam.. Lihat juga: Ismā’īl ibn
Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 47.
[41]al-Ḥusain ibn Muḥammad ibn Aḥmad, Abū ‘Ali
al-Marważī al-Qāḍī al-Syāfi’ī, salah seorang ulamā’ mażhab Syāfi’ī, wafat tahun
462 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. XVIII., op. cit.,
h. 260.; Abū Naşr ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali al-Subkī, Juz. IV., op. cit., h.
356.
[42]Jalaluddīn 'Abdurrahmān bin Abī Bakar
al-Suyūţī, op. cit., h. 7 dan 33.
[43]‘Ubaidullāh
ibn al-Ḥusain ibn Dilāl, Abū al-Ḥasan al-Baghdādī al-Karkhī. salah seorang
ulamā’ besar mażhab Ḥanafiyyah, mufti kota Iraq,
wafat tahun 340 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn
‘Uśmān al-Żahabī, Juz. XV., op. cit.,
h. 426.
[44]Muḥammad
ibn Ḥariş ibn Asad al-Khasyānī al-Qairuwaany, Abū ‘Abdillāh, seorang ulamā’
mażhab Mālikiyah, wafat tahun 361 H. Lihat: Juz. XVI., ibid., h.
165.
[45]‘Abdullāh
ibn ‘Umar ibn ‘Isa al-Dābūsī al-Bukhārī, al-Qāḍī Abū Zaid, ulamā’ negeri Mā
Warā’a al-Naḥar, ulamā’ mażhab Ḥanafiyyah , wafat di kota
Bukhara tahun
430 H. Lihat: Juz. XVII., ibid., h. 521.
[46]Ismail
ibn Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar