Tahni'ah

Kamis, 03 Januari 2013

Sejarah Lahirnya al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan al-Qawā’id al-Khamsu


Berdasarkan tinjauan historisnya, kaidah-kaidah fiqh bukanlah merupakan hal baru dalam Islam. Kaidah-kaidah tersebut telah ada sebelum ia dikenal sebagai salah satu dari disiplin ilmu Islam (Islamic Studies), bahkan kaidah-kaidah fiqh itu tumbuh seiring sejalan dengan proses awal diturunkannya syari’at, sejak turunnya wahyu Allah SWT kepada Nabi saw, karena sesungguhnya di antara ayat-ayat al-Qur’ān dan Ḥadīś-ḥadīś Nabi saw ada yang merupakan kaidah, dari kaidah tersebut terpancar berbagai cabang dan permasalahan fiqh yang banyak. Sebagai contoh, Allah SWT berfirman dalam al-Qur’ān yang berbunyi:
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.(QS. al-A’raaf (7):199).[1]


Imām al-Qurţubī[2] berkata: “Dalam ayat ini terdapat tiga kalimat, yang meliputi kaidah-kaidah syari’at mengenai perintah dan larangan, firman Allah SWT É uqøÿyèø9$# è{  tercakup di dalamnya hubungan orang-orang yang saling memutuskan persaudaraan,  pengampunan bagi orang-orang yang berdosa, lemah lembut kepada orang-orang beriman, dan lain sebagainya yang merupakan akhlak orang-orang yang taat. Dan firman Allah SWT   Å$óãèø9$$Î/ óßDù&ur  tercakup di dalamnya hubungan silaturrahim, bertakwa kepada Allah SWT dalam permasalahan halal dan haram, menundukkan pandangan, mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Dan firman Allah SWT  óšúüÎ=Îg»pgø:$#  Ç`tã Ú̍ôãr&ur  tercakup di dalamnya motifasi untuk menuntut ilmu, menjauhkan diri dari orang-orang yang zhalim, menghindari diskusi dengan orang-orang yang bodoh, dan lain sebagainya yang merupakan akhlak yang terpuji dan perbuatan yang baik.[3] 
Demikian pula firman Allah SWT dalam al-Qur’ān yang berbunyi: 
”Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. (QS. al-Naḥl (16):126).[4]

Berkata Ibnu Jarīr[5] mengenai ayat ini: ”Allah SWT berfirman kepada orang-orang beriman, ”dan jika kalian wahai kaum mukminin memberikan hukuman kepada siapa yang telah menzalimi kalian, maka hendaknya kalian menghukumnya sama seperti apa yang ia lakukan kepada kalian”.[6] 
Pada ayat yang lain, Allah SWT  berfirman: 
“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. (QS. al-Baqarah (2):194).[7]

Al-Qurţubī berkata ketika menjelaskan sebagian hukum yang terdapat dalam ayat di atas: “Tidak terdapat perdebatan (khilāf) di kalangan para ulama bahwasanya ayat ini merupakan dasar hukum menyamakan hukuman balasan dalam  qişāş …”.[8]
Dan juga firman Allah SWT dalam al-Qur’ān, yang berbunyi: 
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. al-Mā’idah (5):90).[9]
Berkata Ibnu al-Qayyim[10]: “Termasuk kategori khamr adalah setiap yang memabukkan, baik yang berbentuk benda keras atau benda cair, terbuat dari anggur atau selainnya. Dan termasuk kategori judi, adalah segala jalan untuk mendapatkan harta dengan cara yang bathil, dan setiap perbuatan yang diharamkan yang dapat mengakibatkan permusuhan, kebencian, dan memalingkan hamba dari berzikir kepada Allah SWT dan memalingkan dari shalat”.[11]
Adapun dalam Sunnah, maka terdapat banyak Ḥadīś yang menjadi landasan utama kaidah-kaidah fiqh, sehingga terpancar darinya kaidah-kaidah cabang (furū’) lainnya pada berbagai permasalahan, di antara sekian banyak Ḥadīś tersebut, dapat disebutkan beberapa di antaranya sebagai berikut:
Sabda Nabi saw:   إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ“sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung kepada niatnya”,[12]  Ḥadīś ini merupakan dasar utama yang menghasilkan kaidah  (al-umūru bimaqāşidihā).
Sabda Nabi saw:  لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ   “tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan”,[13]  Ḥadīś ini merupakan dalil utama yang melahirkan kaidah   al-ḍararu yuzāl.
Ḥadīś-ḥadīś di atas memberikan indikasi sudah adanya kaidah-kaidah fiqh di masa kenabian, di antaranya ada yang berupa kaidah pokok, dan sebagian lainnya merupakan kaidah cabang yang bersumber dari kaidah pokok tersebut, dan di antaranya juga terdapat ḍābiţ pada satu bab tertentu dari sekian banyak bab-bab pembahasan dalam wacana fiqh, semua kaidah dan ḍābiţ tersebut merupakan substansi dari kesempurnaan perkataan Nabi saw
Pada sisi yang lain, perkataan para ulama salaf dari kalangan Sahabat dan tabi’īn, juga telah memberikan deskripsi yang jelas tentang adanya kaidah-kaidah fiqh di masa mereka, di mana kaidah-kaidah fiqh tersebut mereka aplikasikan dan difahami dengan sangat baik, sehingga hal itu menjadi landasan bagi mereka dalam ber-qaḍā’ dan ber-fatwā. Di antara contohnya dapat disebutkan antara lain:
1.  Surat yang dituliskan ‘Umar ibn al-Khaţţāb ra. kepada Abū Mūsa al-‘Asy’arī ra. tentang al-Qaḍā’,  di dalamnya disebutkan:
 الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ,
 وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً  
“…Bukti harus didatangkan oleh si penuduh, dan yang mengingkarinya harus bersumpah, dan perdamaian merupakan sesuatu yang dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal…”[14]

Kedua kalimat yang terdapat dalam surat ’Umar ra. tersebut pada hakikatnya merupakan Ḥadīś dari Nabi saw yang merupakan ḍābiţ pada permasalahan tersebut. Ḥadīś itu dijadikan dasar hukum bagi ’Umar ra. Pada permasalahan al-Qaḍā’ (peradilan), yaitu pada persoalan tuduhan dan bukti, serta pada persoalan adanya perdamaian. Hal itu menunjukkan pengetahuan ‘Umar ra. dalam memahami sabda Nabi saw sehingga menjadikannya sebagai kaidah atau ḍābiţ, juga merupakan bukti nyata pemahaman para Sahabat mengenai nuşūş al-syara’ serta bentuk aplikasi dan implementasinya dalam interpretasi hukum Islam (wacana fiqh).  Ibnu al-Qayyim setelah menyebutkan surat tersebut di atas, beliau berkomentar: ”Sungguh ini surat yang agung, yang diterima oleh para ulama, kemudian dibangun di atasnya dasar-dasar hukum dan persaksian, bagi para hakim dan mufti sangat membutuhkannya agar dapat ditelaah dan dipelajari dengan dalam”[15]     
2.   Berkata ’Umar ibn al-Khaţţāb ra.:  إِنَّ مَقَاطِعَ الْحُقُوْقِ عِنْدَ الشُّرُوْطِ , وَلَكَ مَا شَرَطْتَ  ”Sesungguhnya hal-hal yang memutuskan hak yaitu ketika disyaratkan, dan bagimu apa yang kamu syaratkan”.[16]
3.   Berkata ’Umar ibn al-Khaţţāb ra.:  الإِنْحَالُ مِيْرَاثٌ مَالَمْ يُقْبَضْ   “Pemberian pada hakikatnya adalah harta warisan yang belum dimiliki ”.[17]
4.  Berkata Ibnu Mas’ūd ra.[18]: يُحْرَمُ مِنَ الإِمَاءِ مَا يُحْرَمُ مِنَ الْحَرَائِرِ إِلاَّ الْعَدَدَ   ”Segala yang diharamkan atas budak wanita sama dengan yang diharamkan atas wanita merdeka, kecuali dari sisi jumlah”.[19]
5.   Berkata ’Uśmān ibn ’Affān ra.,[20]  Ibnu ’Umar ra.,[21]  dan Ibnu ’Abbās ra.:   لاَ تَجُوْزُ صَدَقَةٌ حَتَّى تُقْبَضَ  ”Tidak diperbolehkan bersedekah hingga harta tersebut telah menjadi hak milik”.[22]
6.      Berkata Syuraiḥ al-Qāḍī ra.[23]:
فَصْلُ الْخِطَابِ : الشَّاهِدَانِ عَلَى الْمُدَّعِيْ, وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ”Hasil keputusan berdasarkan dua orang saksi dari penuduh dan pengambilan sumpah bagi yang mengingkari (tertuduh)”.[24]
7.  Syuraiḥ al-Qaḍī juga berkata: مَنْ شَرَطَ عَلَى نَفْسِهِ طَائِعًا غَيْرُ مُكْرَهٍ , فَهُوَ عَلَيْهِ   ”siapa yang mensyaratkan bagi dirinya untuk tunduk atau taat tanpa adanya paksaan, maka syarat itu berlaku baginya”[25]
8.    Berkata al-Ḥasan al-Başrī[26]:   إِذَا اخْتَلَفَ الرَّهِنُ وَ الْمُرْتَهِنُ , فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ   ”Apabila terjadi perselisihan antara si penggadai (penjamin) dan yang memegang jaminan, maka yang menjadi pegangan adalah pernyataan si penjamin”[27]   
9.      Berkata al-Sya’bī[28]:  لَيْسَ عَلَى الْمَطْلُوْبِ بَيِّنَةٌ  ”Orang yang dibutuhkan (dimintai keterangan) tidak harus mendatangkan bukti”[29]
10. Berkata Masrūq[30] dan Syuraiḥ :  لاَ تَجُوْزُ شَهَادَةٌ عَلَى شَهَادَةٍ فِيْ حَدٍّ, وَلاَ يُكَفَّلُ فِيْ حَدٍّ ”Tidak diperbolehkan adanya persaksian di atas persaksian dalam masalah al-ḥadd, dan tidak ada jaminan di dalamnya”.[31]
11.  Berkata ’Aţā’[32] dan Ţāwūs[33]:  لاَ تَجُوْزُ شَهَادَةٌ عَلَى شَهَادَةٍ فِيْ حَدٍّ ”Tidak diperbolehkan adanya persaksian di atas persaksian dalam masalah            al-ḥadd”.[34]
Berbagai pendapat di atas menunjukkan pemahaman dan pengetahuan para salaf baik dari kalangan Sahabat maupun Tābi’īn tentang kaidah-kaidah fiqh, dan mereka mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka secara ilmiyah dan amaliyah, di antara mereka, ada yang menjadikan perkataan tersebut di atas sebagai suatu ḍābiţ pada salah satu bab pembahasan fiqh sebagaimana perkataan Imām al-Sya’bī, dan ada yang menjadikannya sebagai salah satu kaidah fiqh sebagaimana perkataan ’Umar ibn al-Khaţţāb ra., dan ada pula yang menjadikan kaidah atau ḍābiţ berdasarkan apa yang dipahaminya dari hukum-hukum syari’at sebagaimana dalam perkataan al-Ḥasan al-Başrī. Dengan demikian, walaupun kaidah-kaidah fiqh belum dikenal sebagai salah satu disiplin ilmu Islam pada masa mereka, namun hal itu telah ada di dalam dada, pengetahuan, dan pemahaman, serta telah diaplikasikan dalam kehidupan mereka di masa itu.
Setelah berlangsung beberapa tahun kemudian, dengan berakhirnya masa keemasan Islam, tiga generasi mulia (Sahabat, Tabi’īn, dan Tābi’ al-Tabi’īn), periodesasi sejarah pun mulai memasuki ’aşru al-tadwīn (masa kodifikasi) dalam berbagai disiplin ilmu Islam, khususnya pada masa kodifikasi buku-buku fiqh dan munculnya keanekaragaman mażhab fiqh. Maka bermunculan buku-buku para ulama ketika itu yang membahas mengenai ḍawābiţ dan kaidah-kaidah fiqh. Di antaranya buku yang berjudul al-Kharrāj yang ditulis oleh Imām Abū Yūsuf[35] murid dari Imām Abū Ḥanīfah[36], dan juga buku al-Aşlu yang ditulis oleh Muḥammad ibn al-Ḥasan al-Syaibānī[37] yang juga merupakan salah satu murid terbaik Abū Ḥanīfah, juga buku al-Mudauwanah yang beraliran mażhab fiqh Imām Mālik, serta buku al-Umm yang dikarang oleh Imām al-Syāfi’ī. Buku-buku di atas merupakan buku-buku perdana yang ditulis dalam disiplin ilmu fiqh, namun di dalamnya juga disebutkan berbagai kaidah-kaidah fiqh dan ḍawābiţ fiqh. Demikian pula buku yang berjudul al-Masā’il yang diriwayatkan oleh Abū Dawūd Sulaimān ibn al-Asy’aś[38]  dari Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, secara eksplisit juga menyebutkan beberapa kaidah-kaidah fiqh tersebut.
Adapun pembukuan ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh) sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan terlepas dari ilmu fiqh, maka dengan menelaah buku-buku yang membahas mengenai ilmu ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa ulama-ulama mażhab Ḥanafi lah yang pertama kali membukukan al-qawā’id  al-fiqhiyyah sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri.
Di antara ulama-ulama tersebut, salah satunya adalah Abū Ţāhir al-Dibās. Disebutkan bahwasanya Imām Abū Ţāhir al-Dibās[39] salah seorang tokoh mażhab Ḥanāfiyah, yang bermukim di daerah yang dikenal dengan negeri ”Mā Warā’a al-Naḥar”, berhasil menyimpulkan fiqh mażhab Ḥanāfiyah, kedalam empat belas kaidah fiqh, ketika berita itu didengar oleh Imām Abū Sa’īd al-Harawi beliau segera bersafar kepada al-Dibās. Abū Ţāhir al-Dibās adalah orang yang buta (tidak melihat), ia kemudian sering mengulang-ulangi empat belas kaidah tersebut setiap malam di masjid ketika masjid dalam keadaan kosong, al-Harawi kemudian menyiapkan posisinya, sementara semua jama’ah telah keluar masjid, lalu al-Dibās pun mengunci pintu masjid. Ia kemudian sempat mengulangi tujuh dari kaidah-kaidah fiqh tersebut, kaidah itupun didengar oleh al-Harawi dan dihapalkannya, namun hal itu diketahui oleh al-Dibās sehingga ia memukul al-Harawy dan mengeluarkannya dari masjid, sejak saat itu,    al-Dibās tidak pernah lagi mengulangi kebiasaannya itu. Adapun al-Harawi, maka ia kembali kepada sahabat-sahabatnya dan menyebarkan tujuh kaidah yang telah didengarnya dari al-Dibās tersebut.[40]  
Berita dan kejadian di atas didengar oleh al-Qāḍī Husain[41], ia pun kemudian berusaha mengumpulkan fiqh mażhab Syāfi’iyah dan berhasil menyimpulkannya kedalam empat kaidah besar, yaitu:
1.      Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan ( الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ  ).
2.      Kesulitan mendatangkan kemudahan ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ ).
3.      Kemudaratan harus dihilangkan  ( الضَّرَرُ يُزَالُ ).
4.      Adat kebiasaan dapat digunakan sebagai landasan hukum  ( الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ ).[42]
Keempat kaidah tersebut, di kemudian hari menjadi cikal bakal munculnya al-qawā’id al-khamsu al-kubrā, setelah beberapa ulama fiqh mażhab Syāfi’ī menambahkan satu kaidah lagi yaitu:  ( الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا )  “Hukum setiap perkara tergantung kepada maksudnya”, sehingga kesemuanya menjadi lima kaidah fiqh yang pokok dan disepakati oleh ulama-ulama mażhab Syāfi’ī.
Kitab pertama yang dibukukan dalam disiplin ilmu kaidah-kaidah fiqh secara khusus adalah Uşūl al-Karkhī oleh Imām Abū al-Ḥasan al-Karkhī[43], beliau mengumpulkan di dalam bukunya tersebut tiga puluh tujuh (37) kaidah, setelah itu muncul buku Uşūl al-Futyā oleh Imām Muhammad ibn al-Ḥariś al-Khasyānī al-Qairuwānī al-Mālikī[44], kemudian menyuşūl buku Ta’sīs al-naẓar oleh Imām Abū Zaid al-Dābūsī al-Ḥanafī[45] yang didalamnya terhimpun delapan puluh enam (86) kaidah, kemudian menjamur setelah itu buku-buku yang membahas secara khusus disiplin ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah dalam prespektif berbagai mażhab, di antaranya ada yang memiliki penjelasan yang panjang, ada yang berupa iktişār (kesimpulan), dan di antaranya ada yang merupakan penjelasan kembali (syarah) terhadap kitab-kitab yang ringkas.[46]   


[1]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., h. 255.   
[2]Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakar ibn Farah al-Anşārī al-Khazrajī al-Qurţubī, wafat di Mesir tahun 671 H.,  Lihat: Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Farḥūn al-Mālikī, op. cit., h. 406.;   Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī, Juz. V.,  op. cit., h. 335.
[3]Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Anşārī al-Qurţubī, al-Jāmi’ Li Aḥkāmi al-Qur’ān,  Juz. VII., (t. Cet; Beirūt: Dār  al-Kutub al-‘Arabī, t. th.), h. 344.
[4]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., h. 421.  
[5]Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kaśīr ibn Gālib, Abū Ja’far al-Ţabarī, seorang mujtahid muţlaq dan Imāmnya para ahli tafsir, lahir di Āmal Ţurbustān tahun 224 H. dan wafat di Baghdād tahun 310 H., Lihat: Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī, Juz. II.,  op. cit., h. 260.; Abū Naşr ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali al-Subkī, Ţabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrā, Juz. III., (Cet. I; Mesir: Maţba’ah ’Īsā al-Bābī al-Ḥalabī, 1383 H.), h. 120.
[6]Abū Ja’far Muḥammad ibn Jarīr al-Ţabarī, Jāmi’u al-Bayān ‘An Ta’wīli  Āyi al-Qur’ān, Juz. XIV., (t. Cet. Beirūt: Dār  al-Fikr, 1405 H.), h. 195.
[7]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., h. 47.  
[8]Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Anşārī al-Qurţubī, Juz. II., op. cit.,  h. 358.
[9]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., h. 176.
[10]Muḥammad ibn Abū Bakar ibn Ayyūb ibn Sa’ad ibn Harīz al-Zar’ī al-Aşl al-Dimasyqī, Syamsuddīn Abū ‘Abdillāh, lebih dikenal dengan nama Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, (691 H.- 751 H.). Lihat: Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī, Juz. VI., op. cit., h.168.   
[11]Syamsuddīn Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Abī Bakar – Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah -, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘An Rabbi al-’Ālamīn,  Juz. I.,  (t. Cet; Beirūt: Dār  al-Jīl, t. th.), h. 334. 
[12]Muttafqun ’Alaihi, dari Ḥadīś ’Umar ibn al-Khaţţāb ra.
[13]Dikeluarkan oleh Imām Aḥmad (1/313), Ibnu Mājah (2/784), Dari Ḥadīś Ibnu ‘Abbās, dan al-Ḥākim dalam al-Mustadrak (2/57-58), al-Baihaqī dalam Sunan al-Kubrā (6/69), al-Dāruquţnī dalam al-Sunan (3/77), semuanya berasal Dari Ḥadīś Abī Sa’īd.
[14]Surat ‘Umar ra. kepada Abū Musa ra. Tentang permasalahan al-Qaḍā’. Dikeluarkan oleh al-Baihaqī dalam Sunan al-Kubra (10/119,135), dan dalam al-Ma’rifah (7/366-367),            al-Dāraquţnī (4/206-207), disebutkan pula oleh Ibnu al-Qayyim, op. cit., h. 86,; Dan di-şaḥiḥ-kan oleh al-Albānī dalam Irwā’u al-Galīl (8/241).
[15]Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, ibid.
[16]Dikeluarkan oleh al-Bukhārī secara mauqūf  dalam bab “syarat-syarat mahar ketika pada saat aqad nikah” (5/322 – 9/217), Ibnu Abū Syaibah dalam Muşannaf-nya  no. 16449 (3/499), Sa’īd ibn Manşūr dalam Sunan-nya no. 662 (1/181).  
[17]Dikeluarkan oleh al-Baihaqī dalam kitab Syurūţ al-Qabḍi fī al-Hibah, (6/170).
[18]‘Abdullāh ibn Mas’ūd ibn Gāfil ibn Ḥabīb ibn Syamkh ibn Makhzūm ibn Şāḥilah ibn Kāhil ibn al-Ḥāriś ibn Tamīm al-Hużalī, Abū ‘Abdirraḥmān, Sahabat yang mulia, seorang faqīh umat ini, tergolong orang-orang awal yang memeluk Islam, ikut serta dalam peperangan Badar  dan peperangan-peperangan lainnya, wafat di Madinah tahun 32 H. dan ada pendapat selain itu. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Syiaru A’lāmi al-Nubalā’, Juz. I., (Cet. II; Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1422 H./2001 M.), h. 461.; Syihābuddīn Aḥmad ibn ‘Alī ibn Ḥajar al-Asqalānī, Kitāb Tahżību al-Tahżīb, Juz. VI., (Cet. I; Beirūt: Dār al-Fikr, 1404 H./1984 M.), h. 27-28.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, al-Işābatu fī Tamyīz al-Şaḥābah, Juz. IV., (t. Cet; Beirūt: Dār  al-‘Ilm al-Malayīn, t. th), h. 129.    
[19]Dikeluarkan oleh al-Baihaqī  dalam kitab Nikah (7/163).
[20]‘Uśmān ibn ‘Affān ibn Abī al-Āş ibn ‘Umayyah ibn Abī Syams al-Qurasī al-Umawī, Abū ‘Abdillāh dan Abū ‘Amr, Amirul mukminin dan khalifah yang ketiga, salah seorang yang diberikan kabar gembira oleh Nabi saw dengan surga,  yang dikenal dengan julukan “Żunnurain” sebab ia adalah menantu Rasūlullāh saw Dari kedua putri beliau (Ruqayyah dan Ummu Kulśūm), beliau lahir 6 tahun setelah peristiwa gajah dan beliau dibunuh pada tahun 35 H. dengan masa jabatan kurang lebih 12 tahun.  Lihat: Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, al-Işābah,  op. cit., h. 223.; Jalāluddīn al-Suyūţī,  Tārīkh al-Khulafā’, (Cet. I; Riyādh: Dār Ţaiyyibah, 1416 H.) h. 156.
[21]‘Abdullāh ibn ‘Umar ibn al-Khaţţāb ibn Nufail ibn ‘Abdil ‘Uzza ibn Riyāḥ ibn Qarţ ibn Razāh al-Qurasī al-‘Adawī, Abū ‘Abdiraḥmān, Sahabat Nabi saw yang dikenal sebagai fuqahā’ dan ulamā’ Madinah, masuk Islam di mana kecil dan berhijrah mengikuti ayahnya, dianggap anak kecil oleh Nabi saw sehingga tidak diizinkan mengikuti perang Badar , kemudian beliau ikut dalam peperangan Khandak dan berbagai peperangan setelahnya, wafat tahun 73 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. III., op. cit., h. 203.;  Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb,  Juz. V.,  op. cit., h. 328.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, al-Işābah,  ibid., h. 108. 
[22]Dikeluarkan  oleh  al-Baihaqī   dalam  kitab  Hibah,  bab  Syarat  kepemilikan  dalam hibah (6/170).
[23]Syuraiḥ ibn Hāni’ ibn Yazīd ibn Nuhaik atau al-Ḥāriś ibn Ka’ab al-Ḥāriśī al-Mużhajī, Abū al-Miqdām, salah seorang fuqahā’ Kuffah, sempat mendapatkan zaman kenabian tetapi tidak bertemu dengan Nabi saw beliau adalah sahabat dekat Ali ibn Abī Ţalib ra. dan diangkat menjadi Qāḍī di masa pemerintahan Ali ra., beliau dibunuh pada tahun 78 H. di daerah Sajistān. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. IV.,  op. cit., h. 107.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī,  Tahżību al-Tahżīb,  Juz. IV., op. cit.,  h. 330.;
[24]Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzāq dalam Muşannaf-nya, Kitab Jual Beli no. 15190 (8/273).
[25]Dikeluarkan oleh al-Bukhārī secara mauqūf dalam kitab al-Syurūţ  (5/354).  
[26]al-Ḥasan ibn Abī al-Ḥasan Yasār al-Başrī, Abū Sa’īd Maula al-Anşārī, beliau lahir 2 tahun sebelum berakhir masa jabatan ‘Umar ra., di masanya ia dikenal dengan keilmuan dan pengamalannya. wafat tahun 110 H. Lihat:  Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar al-A’lām, op. cit., h. 563.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību           al-Tahżīb, Juz. II., op. cit., h. 263.; Abū ‘Abdillāh Syamsuddīn al-Żahabī, Tażkirah                      al-Ḥuffāẓ,  Juz. I., (t. Cet; tt.: Dār  Iḥyā’ al-Turāś al-‘Arabī, t. th.) h, 71.
[27]Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzāq dalam Muşannaf,  kitab jual beli no. 15060, (8/243).
[28]‘Amir ibn Syarāhīl ibn ‘Abd/’Amir ibn ‘Abdillāh ibn Syarāhīl al-Sya’bī                   al-Humairī Abū ‘Amr al-Kūfī, salah seorang dari kalangan Tabi’īn (19 H. – 109 H.). Lihat:  Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar al-A’lām, op. cit., h. 294.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb, Juz. V.,  op. cit., h. 65.
[29]Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzāq dalam Muşannaf, kitab jual beli, no. 15191, (8/275).
[30]Masrūq ibn Ajdā’ ibn Mālik ibn Umayyah ibn ‘Abdillāh ibn Murr ibn Salāmān ibn Ma’mar ibn al-Ḥāriś ibn Sa’ad al-Hamadānī al-Wadā’ī al-Kūfī, Abū ‘Ā’isyah, Tabi’īn  Mukhadram (orang yang beriman dan hidup dizaman Nabi tetapi tidak bertemu dengan Nabi saw), seorang ulamā’ yang faqīh, wafat tahun 62 H. atau 63 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar al-A’lām, op. cit., h. 63.; Aḥmad ibn Ali     ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb, Juz. X.,  op. cit., h. 109.
[31]Diriwayatkan oleh al-Baihaqī  dalam kitab al-Suahadāt, (10/250).  
[32]‘Aţā’ ibn Abī Rabāh, namanya Aslam al-Qurasī, Abū Muḥammad al-Makkī, salah seorang fuqahā’ Dari kalangan Tab’īn, Lahir pada tahun ke-2 di masa pemerintahan ‘Uśmān ra, dan wafat pada tahun 114 H. walaupun terdapat perpedaan perndapat tentang tahun kelahirannya. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar al-A’lām, Juz. V.,  op. cit., h. 78.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahżību al-Tahżīb, Juz. VII.,  op. cit., h. 199.  
[33]Ţāwūs ibn Kīsān al-Yamānī, Abū ‘Abdirraḥmān al-Ḥumairī al-Jundī, pendapat lain mengatakan namanya adalah. Żakwān, adapun Ţāwūs adalah julukannya, dari kalangan fuqahā’ Tabi’īn, wafat di Mekah tahun 106 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, ibid., h. 38.; Aḥmad ibn Ali ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Juz. V., ibid., h. 8.
[34]Diriwayatkan oleh al-Baihaqī  dalam kitab al-Suahadāt, (10/250).   
[35]Ya’qūb ibn Ibrāhīm ibn Ḥubaib ibn Ḥubaisī ibn Sa’ad ibn Bujair ibn Mu’āwiyah      al-Anşārī al-Kūfī, Abū Yūsuf, lahir pada tahun 113 H. dan wafat tahun 182 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Siyar al-A’lām, Juz. VIII.,  op. cit., h. 535.;  
[36]al-Nu’mān ibn Śābit ibn Zauţī al-Taimī al-Kūfī, maula Banī Tamīmillāh ibn Śa’labah, dikatakan bahwasanya beliau adalah keturunan asli Persia, seorang Imām dan faqīh negeri Iraq, madrasah yang beliau dirikan sangat terkenal dengan istilah madrasah ahli al-ra’yi, dan kepadanya dinisbatkan mażhab Ḥanafiyyah, dilahirkan tahun 80 H. semasa dengan para sahabat kecil, dan beliau sempat melihat Anas ibn Mālik ketika beliau berkunjung ke Kufah, dan beliau wafat tahun 150 H. Lihat:  Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. VI.,  ibid., h. 390.;  Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī,  Juz. I., op. cit., h. 227.
[37]Muḥammad ibn al-Ḥasan ibn Farqad al-Syaibānī al-Kūfī, Abū ‘Abdillāh, murid dari Imām Abū Ḥanīfah, lahir di kota Wāsiţ tahun 132 H. kemudian beliau tumbuh di kota Kufah dan akhirnya tinggal di Baghdād,wafat di kota Rai tahun 189 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī,  Juz. IX.,  ibid., h. 134.;   
[38]Sulaimān ibn al-Asy’aś ibn Syadād ibn ‘Amr ibn ‘Āmir, al-Imām Abū Dawūd al-Azdī al-Sajistāny, Syekh al-Sunnah, pemuka para penghapal Ḥadīśt, Muḥaddist kota Bashrah, lahir tahun 202 H. dan wafat tahun 275 H. Lihat: Juz. XIII., Ibid., h. 203.
[39]Muḥammad ibn Muḥammad ibn Sufyan, Abū Thahir al-Dibās, Imām Ahlu al-Ra’yi Iraq di zamannya, pernah menjadi Qāḍī di Syam, kemudian ia pergi ke Mekah dan wafat di sana. Lihat: Abū al-Ḥasanāt Muḥammad ibn ‘Abdul Hay al-Kanawī al-Hindī, al-Fawā’idu                  al-Bahiyyatu fī Tarājimi al-Ḥanafiyyah ,  (t. Cet; Beirūt: Dār  al-Ma’rifah, 1323 H.), h. 187.
[40]Jalaluddīn 'Abdurraḥmān bin Abī Bakar al-Suyūţī, op. cit., h. 7.; Kisah ini masih diragukan keabsahannya, sebab tidak pantas perbuatan seperti itu dilakukan oleh seorang ulamā’, apalagi menyembunyikan ilmu, Wallahu a’lam.. Lihat juga: Ismā’īl ibn Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 47.    
[41]al-Ḥusain ibn Muḥammad ibn Aḥmad, Abū ‘Ali al-Marważī al-Qāḍī al-Syāfi’ī, salah seorang ulamā’ mażhab Syāfi’ī, wafat tahun 462 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī,  Juz. XVIII.,  op. cit., h. 260.;  Abū Naşr ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali al-Subkī, Juz. IV., op. cit., h. 356.
[42]Jalaluddīn 'Abdurrahmān bin Abī Bakar al-Suyūţī,  op. cit., h. 7 dan 33.
[43]‘Ubaidullāh ibn al-Ḥusain ibn Dilāl, Abū al-Ḥasan al-Baghdādī al-Karkhī. salah seorang ulamā’ besar mażhab Ḥanafiyyah, mufti kota Iraq, wafat tahun 340 H. Lihat:  Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī,  Juz. XV.,  op. cit., h. 426.    
[44]Muḥammad ibn Ḥariş ibn Asad al-Khasyānī al-Qairuwaany, Abū ‘Abdillāh, seorang ulamā’ mażhab Mālikiyah, wafat tahun 361 H. Lihat: Juz. XVI., ibid., h. 165.
[45]‘Abdullāh ibn ‘Umar ibn ‘Isa al-Dābūsī al-Bukhārī, al-Qāḍī Abū Zaid, ulamā’ negeri Mā Warā’a al-Naḥar, ulamā’ mażhab Ḥanafiyyah , wafat di kota Bukhara tahun 430 H. Lihat: Juz. XVII., ibid., h. 521.  
[46]Ismail ibn Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar