Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos atau kratein
berarti kekuasaan atau ”rakyat berkuasa” atau ”government or rule by the
people”.[1]
Dengan kata lain, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat; atau kedaulatan
rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat.[2]
Adapun substansi demokrasi, sebagaimana
menurut Robert A. Dahl, merupakan sarana, bukan tujuan utama, untuk mencapai
persamaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan manusia,
perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan, dan perkembangan
diri manusia.[3]
Sementara Willy Eichler berpendapat, esensi demokrasi adalah proses, karenanya
ia merupakan sistem yang dinamis ke arah yang lebih baik dan maju dibanding
dengan sebelumnya.[4]
Definisi demokrasi secara terminologi, menurut
Joseph A. Schemeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk
menyampaikan keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan
untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atau suara rakyat. Sidney
Hook berpendapat, bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana
keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat
yang sudah dewasa.[5]
Definisi demokrasi seperti yang diungkapkan oleh
Sidney Hook di atas, sangat menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan kaum
muslimin, yaitu ketika nilai atau standar kebenaran berdasarkan suara mayoritas
rakyat dan bukan didasarkan kepada Kalām Ilāhī, bahkan slogan yang sangat
terkenal ”suara rakyat adalah suara Tuhan” sebagai aplikasi pendapat
mayoritas, dinilai oleh sebagian kalangan bertentangan dengan nilai-nilai syara’,
sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’ān yang berbunyi:
”Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. al-An’ām (6):116).[6]
Pada hakikatnya, ayat tersebut di atas bersifat
umum, yaitu jika menuruti kehendak mayoritas manusia yang bertentangan dengan
kehendak Syāri’, Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah
diharamkan Allah SWT dan mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah SWT,
menyatakan bahwa Allah mempunyai anak, dan lain sebagainya. Ketika ayat di atas
ditelaah dengan penalaran tekstual (makna ẓāhir), hal tersebut
mengindikasikan dua landasan berfikir yang saling bertentangan dengan sistem
demokrasi bila didasarkan pada definisi Hook, di mana standar kebenaran adalah
pendapat mayoritas, dan yang lainnya standar kebenaran yang dibangun di atas
dalil-dalil syara’.
Demokrasi dalam sejarahnya, mengalami pertumbuhan
dan perkembangan melalui proses-proses historis yang sangat panjang. Konsep
demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia memiliki konotasi
makna, variatif, evolutif, dan dinamis. Oleh karena itu, praktiknya di setiap
negara tidak akan selalu sama.[7] Meski dalam praktiknya berbeda, tetapi ada
unsur yang menjadi dasar demokrasi, yaitu: 1) ada kebebasan membentuk dan
menjadi anggota perkumpulan; 2) kebebasan menyatakan pendapat; 3) ada hak dalam
pemungutan suara; 4) ada kesempatan untuk dipilih; 5) ada hak berkampanye; 6) ada pemilihan yang bebas dan jujur; 7) terdapat berbagai sumber informasi; 8)
semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan pemerintahan, harus bergantung
kepada keinginan rakyat.[8]
Apabila unsur-unsur demokrasi di atas dirunut dalam
aplikasinya di Indonesia, maka dapat dikatakan sebagian besarnya telah
diaplikasikan pada sistem demokrasi Indonesia. Salah satunya yaitu dengan
diselenggarakannya pemilihan umum (Pemilu) yang bertujuan untuk memilih para
wakil rakyat yang akan duduk di parlementer atau dewan legislatif, yang
sekaligus merupakan perpanjangan tangan dari suara rakyat. Dewan legislatif
dalam tata negara Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
merupakan perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia sekaligus sebagai lembaga
tertinggi negara. Untuk
selanjutnya, lembaga-lembaga legislatif lainnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) di tingkat pusat, DPRD Tk. I di tingkat propinsi, dan DPRD Tk. II di
tingkat Kabupaten/Kotamadya. Orang-orang yang duduk pada lembaga-lembaga
tersebut dipilih melalui suatu pesta demokrasi yang dinamakan pemilihan
umum (Pemilu).
Dewan legislatif dalam sistem demokrasi seperti di
atas serupa dengan Ahlu al-ḥalli wa al-aqdi dalam sistem pemerintahan
Islam. Hanya saja karena sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia mengacu ke
Barat, maka tidak sepenuhnya identik dengan Ahlu al-ḥalli wa al-’aqdi. Dari
segi statusnya sebagai wakil-wakil rakyat, DPR/MPR di Indonesia sama dengan Ahlu
al-ḥalli wa al-’aqdi, tetapi dari segi identitas personal keduanya tidak
sama karena anggota DPR/MPR tidak semuanya muslim. Olehnya itu, sekalipun
merupakan lembaga wakil-wakil rakyat, Ahlu al-ḥalli wa al-’aqdi tidak
identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif dan
berhak membatasi kekuasaan kepala negara dengan undang-undang.[9]
Sebagaimana kontroversi sistem demokrasi pada
kalangan cendekiawan dan aktifis muslim di Indonesia, demikian pula
keikutsertaan dalam Pemilu, menimbulkan polemik di antara aktifis Islam, ada
yang membolehkannya dan bahkan sampai pada pernyataan ”ekstrim” yaitu
mewajibkannya atau mengharamkannya.[10]
Dalam Islam, penyebutan untuk nama
demokrasi sering digunakan Istilah syūrā. Istilah syūrā berasal
dari kata kerja syāwara - yusyāwiru yang berarti menjelaskan,
menyatakan, atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang
berasal dari kata syāwara adalah asyāra (memberi isyarat), tasyāwara
(berunding, saling bertukar pendapat), syāwir (meminta pendapat,
musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain).[11]
Dalam Islam, syūrā yang berarti bermusyawarah merupakan
tradisi yang telah lama dilaksanakan oleh Rasūlullāh saw Dasar-dasar normatif
banyak disebutkan dalam al-Qur’ān, di antaranya:
”Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka ...”. (QS. al-Syūrā (42):38).[12]
Ayat di atas menghendaki agar umat Islam melakukan
musyawarah dalam menghadapi setiap masalah, dan ini merupakan ketetapan Allah SWT
yang dijadikan prinsip dasar dalam tata kehidupan masyarakat Muslim. hal
tersebut bertujuan untuk mencari jalan terbaik dalam memecahkan masalah.
Walaupun demikian, kekuatan nuşūş al-syara’ juga tetap menjadi landasan
argumentasi utama dalam permasalahan ini, sebagaimana firman Allah SWT yang
berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. al-Nisā’ (4):59).[13]
Berdasar
pada dalil-dalil di atas dan beberapa dalil lainnya dalam al-Qur’an (3:159), menurut Amin Rais,
mungkin benar mengatakan bahwa syūrā dapat disebut demokrasi, tetapi dia
secara sengaja menghindari istilah itu dalam konteks politik Islam, karena
istilah demokrasi saat ini telah banyak disalahpahami. Namun demikian,
Amin Rais tidak melihat adanya pertentangan antara Islam dengan demokrasi.
Mengingat konsep syūrā dapat berperan sebagai benteng yang kuat
menentang pelanggaran negara, otoritarianisme, despotisme, kediktatoran, dan
sistem-sistem lain yang mengabaikan hak politik rakyat. Partisipasi politik
rakyat dihormati sepenuhnya dalam penyelenggaraan negara, karena mereka pada
hakikatnya adalah para pemilik negara.[14]
Dari berbagai polemik tersebut, sesungguhnya ada dua
hal prinsipil yang membedakan antara syūrā dan demokrasi, yaitu: Pertama,
demokrasi adalah sistem politik sekuler, yang kedaulatannya berada di
tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada di tangan Tuhan, dan
suara mayoritas tidak dapat atau tidak mungkin mengubah syari’at, serta
kedaulatan rakyat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan al-Qur’ān dan
Sunnah. Kedua, dalam praktiknya suara rakyat dapat dimanipulasi, baik
melalui ancaman maupun rayuan. Islam adalah sistem yang unik, yang
mengembangkan prinsip-prinsip syūrā (musyawarah) dan hak-hak asasi
manusia, di mana hak masing-masing sangat dihargai dan tidak dapat
dimanipulasi.[15]
Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa
demokrasi merupakan istilah yang digemakan oleh para pemikir Barat dalam
menciptakan iklim dan sistem politik modern, yang dikembangkan dengan berbagai
modifikasi pada setiap penerapannya, sementara jauh sebelum itu, Islam telah
mempopulerkan sistem syūrā yang bukan hanya berada pada tataran konsep
normatif belaka, namun sampai pada tataran aplikasi di masa Nabi saw Bahkan
secara historis, hal itu merupakan realitas sejarah yang tidak dapat
dipungkiri.
Menyingkapi perbedaan interpretasi dan polemik yang
berkaitan dengan sistem demokrasi atau keikutsertaan dalam pemilu, maka menurut
hemat penulis, hal tersebut dapat dianalisa dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh
yang bertujuan untuk meraih kemaslahatan (jalbu al-māşāliḥ) dan mencegah
kemudaratan (daf’u al-mafāsid). Permasalahan pokok adalah, apakah hal
tersebut termasuk dalam masalah ta’abbudiyah atau berada pada wilayah ijtihādiyyah,
sehingga wajar terjadi perbedaan interpretasi dalam hal tersebut. Jika
dilihat pada substansi hukum Islam yang ada, maka penulis memandangnya sebagai
masalah ijtihādiyyah, di mana status hukumnya berbeda-beda pada setiap
negeri bergantung pada perbedaan waktu, tempat, situasi, dan kondisi, serta
realitas yang ada, sebagaimana kaidah yang menyatakan ”Taghayyur al-aḥkām bi
taghayyuri al-amākinah wa al-azminah wa al-aḥwāl wa al-auḍā’”.
Dalam konteks keindonesiaan, melalui forum Ijtimā’ Ulamā’ yang
diselenggarakan pada 24 – 26 Januari 2009 lalu di Padang Panjang, Sumatera
Barat, MUI mengeluarkan sejumlah fatwā’, diantaranya tentang Golput (Tidak
Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum). Dikutip dari naskahnya, fatwa itu
berbunyi sebagai berikut:
1.
Pemilihan umum dalam pandangan
Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi
syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi
umat dan kepentingan bangsa.
2.
Memilih pemimpin dalam Islam
adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
3.
Imāmah dan imārah dalam Islam
menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud
kemashlahatan dalam masyarakat.
4.
Memilih pemimpin yang beriman dan
bertakwa, jujur (siddīq), terpercaya (amānah), aktif dan
aspiratif (tablīgh), mempunyai kemampuan (faţānah), dan
memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5.
Memilih pemimpin yang tidak
memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak
memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah
haram.[16]
Selanjutnya fatwā’ ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni: (1) Umat
Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas
amar makruf nahi munkar; (2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu
meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat
dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.[17]
Apabila sistem demokrasi dan pemilu tersebut
ditinjau berdasarkan kaidah-kaidah fiqh, maka yang menjadi tujuan utamanya
yaitu demi kemaslahatan bersama. Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan
yang kacau balau merupakan tinjauan sosiologis di mana manusia memerlukan hidup
bermasyarakat dan agar supaya kehidupan manusia itu tertib dan teratur,
sehingga perlu adanya orang-orang yang mewakili seluruh rakyat, yang dipilih
berdasarkan keinginan dan pendapat rakyat, dan melihat konteks masyarakat
Indonesia yang beraneka ragam suku, budaya, dan agama saat ini, bukanlah suatu
keniscayaan yang dapat terjadi jika di antara wakil-wakil rakyat tersebut ada
yang non-muslim. Di sisi lain pula, masyarakat sangat membutuhkan adanya
seorang pemimpin dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan untuk
mewujudkan hal tersebut, sistem demokrasi dan pemilu kemungkinan sesuai dengan
realitas masyarakat Indonesia yang pluralistik dan heterogen, sehingga
permasalahan ini dapat dipertimbangan dengan melihat tiga hal, yaitu:
1.
Manusia bila
dibiarkan tanpa pengendali atau pemimpin, hasilnya adalah kemudaratan dan
kehancuran bagi manusia itu sendiri.
2.
Menolak
kemudaratan yang diprediksi akan muncul, merupakan suatu hal yang diwajibkan
dalam syarī’ah.
3.
Kemudaratan-kemudaratan
tidak akan dapat dihindarkan melainkan dengan adanya seorang kepala negara (al-amīr),
apapun sistem yang digunakan dalam menghasilkan seorang pemimpin.
Seandainya kita berpendapat bahwa sistem demokrasi
dan keikutsertaan dalam pemilu bertentangan dengan nilai-nilai Islam, apakah
pertentangan tersebut telah sampai pada tingkat keharaman, dan atau apakah
termasuk dalam kategori darurat karena kita telah terjebak pada suatu sistem
yang bertentangan dengan nilai Islam, yang menjadi sebab datangnya rukhşah sebab
tidak mungkin untuk menghindarinya dalam kehidupan bernegara saat ini, sehingga
kaidah الأَخْذُ
بِأَخَفِّ الضَّرُوْرَيْنِ ”Mengambil yang
paling ringan di antara dua kemudaratan” dapat diterapkan
dalam masalah ini, hal itu perlu dikritisi lebih jauh.[18]
Namun, yang perlu menjadi bahan
pertimbangan dalam masalah ini, adalah realitas yang terjadi pada pergolakan
politik Indonesia saat ini, di mana keikutsertaan kaum muslimin Indonesia dalam
demokrasi dan pemilu itu sendiri, baik secara aktif (dipilih dan memilih)
maupun secara pasif (memilih) dapat membawa pada kemaslahatan kaum muslimin
bangsa ini pada umumnya. Sebab, dengan terpilihnya utusan-utusan kaum muslimin
dalam dewan legislatif, maka dengan berprasangka baik (ḥusnu al-ẓann)
diharapkan dapat membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin itu sendiri dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh sebab itu, maka meraih kemaslahatan
adalah sesuatu yang wajib hukumnya, didasarkan pada kaidah: مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ الْمُطْلَقُ إِلاَّ بِهِ وَكَانَ
مَقْدُوْرًا فَهُوُ وَاجِبٌ “Perkara
yang mana suatu kewajiban tidak sempurna tanpanya, dan perkara tersebut memungkinkan
untuk dilakukan, maka hukumnya juga wajib”
[1]Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik, (Cet. XXI; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 50.
[2]Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu
Negara, (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 165.
[3]Robert A. Dahl, Democracy and Its
Critics, dalam Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: LP3ES,
1995), h. 5.
[4]Nurcholis Madjid, Demokrasi dan
Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher (ed.), Demokratisasi
Politik, Budaya, dan Ekonomi, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1994), h. 203.
Lihat juga: Jaenal Aripin, Peradilan
Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Ed. I., (Cet. I;
akarta, Kencana, 2008), h. 81-88.
[5]Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan
Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (t. Cet; Jakarta:
Prenada Media, 2003), h. 110.
[6]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf,
Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, (t.
Cet; Madinah: Percetakan al-Qur’ān al-Karim Raja Fahd, 1426H), h. 207.
[7]Bagir Manan, Pengujian Yustisial
Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia, (Makalah,
Yogyakarta: 1994), h. 2.
[8]Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi
dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (t. Cet; Yogyakarta: Total
Media, 2007), h. 38.
[9]Abdul Aziz Dahlan, et. al., (Ed)., Ensiklopedi
Hukum Islam, Juz. III., (Cet. V; Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
2001), h. 1059.
[10]Kontroversi tentang sistem demokrasi dan
pemilu, bukanlah merupakan hal baru dalam perkembangan politik Islam di
Indonesia, sebagian organisasi Islam yang “ekstrim” seperti, sebagian kelompok
Salafiyyah atau Ahlussunnah Waljama’ah, sebagian aktifis Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI) dibawah pimpinan Irfan S. Awwas, atau Jama’ah Anşārut Tauḥīd di
bawah pimpinan Abū Bakar Ba’asyīr, atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahkan
dengan tegas menolak sistem demokrasi yang dinilai bertentangan dengan prinsip
Islam, dengan salah satu landasan argumentasi adalah pemahaman tekstual ayat di
atas (QS. 6:116), yang berindikasi pada ketidak-ikutsertaan mereka pada Pemilu,
dan yang semacamnya. Hal itu, tentu jauh berbeda dengan sikap dari kelompok
Ikhwan al-Muslimin di Indonesia yang berevolusi menjadi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) lebih memilih bergabung dalam sistem demokrasi walaupun pada
dasarnya mereka juga tidak setuju dengan sistem tersebut, namun berupaya untuk
melakukan revolusi damai dari dalam sistem demokrasi itu sendiri menuju sistem
pemerintahan Islāmī. Polemik dalam persoalan ini bertambah panjang ketika pada
akhir tahun 2008 lalu, salah satu tokoh PKS dan mantan Presiden PKS, Hidayat
Nurwahid membuat pernyataan “Haram Golput”, bahkan polemik tersebut kemudian
direspon dalam pertemuan Majelis Ulama se-Indonesia di Padang Panjang pada
tanggal 24-26 Januari 2009.
[11]Abdul Aziz Dahlan, et. al., (Ed)., Juz.
IV., op. cit., h. 1264.
[12]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf,
Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., h. 789.
[14]M. Amin Rais, Cakrawala Islam Antara
Cita dan Fakta, (Cet. II; Jakarta: Mizan, 1989), h. 48.
[15]Jalaluddin Rakhmat, Islam dan
Demokrasi, dalam Frans Magniz Suseno, at. al., Agama dan Demokrasi, (t.
Cet; Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992), h. 43.
[18]Jika demikian halnya, pada satu sisi, kita
harus berhadapan dengan suatu sistem pemerintahan yang menurut sebagian aktifis
muslim hal itu bertentangan dengan prinsip pemerintahan Islam (walaupun hal itu
merupakan hukum yang bersifat fleksibel), sehingga dianggap sebagai bentuk
kemudaratan terhadap nilai-nilai syari’at, dan juga dalam Islam tidak dikenal
kaidah al-Gāyah tubarriru al-wasīlah (tujuan menghalalkan segala cara),
tidak dengan beralasan demi Islam, sistem dan cara yang bertentangan dengan
Islam pun digunakan. Namun pada sisi yang lain, kita juga harus berfikir
realistis berdasarkan fenomena dan realita yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia saat ini, bagaimana jika pemerintahan atau dewan legislatif dipenuhi
oleh orang-orang yang phobia terhadap Islam, tentunya hal tersebut juga
merupakan kemudaratan bagi Islam dan kaum muslimin yang perlu untuk diwaspadai.
Jika permasalahan seperti ini masuk dalam kategori ijtihādiyyah dan
bukan bersifat ta’abbudiyah atau tauqīfiyyah, maka
mempertimbangkan tingkat kemudaratan sangat berperan dalam penetapan hukumnya,
seiring dengan situasi dan kondisi yang ada. Pertimbangan tingkat kemudaratan
seperti itu, terdapat dalam kaidah fiqh yang berbunyi: إذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ
رُوْعِيَ أعْظَمُهَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أخَفِّهَا “Apabila terdapat dua kemungkaran, ditinggalkan yang paling besar
kemudaratan dengan memilih
yang paling ringan
diantara keduanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar