Tahni'ah

Kamis, 03 Januari 2013

Demokrasi dan Pemilu


Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos atau kratein berarti kekuasaan atau ”rakyat berkuasa” atau ”government or rule by the people”.[1] Dengan kata lain, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat; atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat.[2]
 Adapun substansi demokrasi, sebagaimana menurut Robert A. Dahl, merupakan sarana, bukan tujuan utama, untuk mencapai persamaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan manusia, perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia.[3] Sementara Willy Eichler berpendapat, esensi demokrasi adalah proses, karenanya ia merupakan sistem yang dinamis ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan sebelumnya.[4]
Definisi demokrasi secara terminologi, menurut Joseph A. Schemeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk menyampaikan keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atau suara rakyat. Sidney Hook berpendapat, bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat yang sudah dewasa.[5]  
Definisi demokrasi seperti yang diungkapkan oleh Sidney Hook di atas, sangat menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan kaum muslimin, yaitu ketika nilai atau standar kebenaran berdasarkan suara mayoritas rakyat dan bukan didasarkan kepada Kalām Ilāhī, bahkan slogan yang sangat terkenal ”suara rakyat adalah suara Tuhan” sebagai aplikasi pendapat mayoritas, dinilai oleh sebagian kalangan bertentangan dengan nilai-nilai syara’, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’ān yang berbunyi:
”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS.      al-An’ām (6):116).[6]

Pada hakikatnya, ayat tersebut di atas bersifat umum, yaitu jika menuruti kehendak mayoritas manusia yang bertentangan dengan kehendak Syāri’, Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah SWT dan mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah SWT, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak, dan lain sebagainya. Ketika ayat di atas ditelaah dengan penalaran tekstual (makna ẓāhir), hal tersebut mengindikasikan dua landasan berfikir yang saling bertentangan dengan sistem demokrasi bila didasarkan pada definisi Hook, di mana standar kebenaran adalah pendapat mayoritas, dan yang lainnya standar kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syara’.
Demokrasi dalam sejarahnya, mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui proses-proses historis yang sangat panjang. Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia memiliki konotasi makna, variatif, evolutif, dan dinamis. Oleh karena itu, praktiknya di setiap negara tidak akan selalu sama.[7]  Meski dalam praktiknya berbeda, tetapi ada unsur yang menjadi dasar demokrasi, yaitu: 1) ada kebebasan membentuk dan menjadi anggota perkumpulan; 2) kebebasan menyatakan pendapat; 3) ada hak dalam pemungutan suara; 4) ada kesempatan untuk dipilih; 5) ada hak berkampanye;  6) ada pemilihan yang bebas dan jujur;  7) terdapat berbagai sumber informasi; 8) semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan pemerintahan, harus bergantung kepada keinginan rakyat.[8]
Apabila unsur-unsur demokrasi di atas dirunut dalam aplikasinya di Indonesia, maka dapat dikatakan sebagian besarnya telah diaplikasikan pada sistem demokrasi Indonesia. Salah satunya yaitu dengan diselenggarakannya pemilihan umum (Pemilu) yang bertujuan untuk memilih para wakil rakyat yang akan duduk di parlementer atau dewan legislatif, yang sekaligus merupakan perpanjangan tangan dari suara rakyat. Dewan legislatif dalam tata negara Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia sekaligus sebagai lembaga tertinggi negara. Untuk selanjutnya, lembaga-lembaga legislatif lainnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat pusat, DPRD Tk. I di tingkat propinsi, dan DPRD Tk. II di tingkat Kabupaten/Kotamadya. Orang-orang yang duduk pada lembaga-lembaga tersebut dipilih melalui suatu pesta demokrasi yang dinamakan pemilihan umum  (Pemilu).
Dewan legislatif dalam sistem demokrasi seperti di atas serupa dengan Ahlu al-ḥalli wa al-aqdi dalam sistem pemerintahan Islam. Hanya saja karena sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia mengacu ke Barat, maka tidak sepenuhnya identik dengan Ahlu al-ḥalli wa al-’aqdi. Dari segi statusnya sebagai wakil-wakil rakyat, DPR/MPR di Indonesia sama dengan Ahlu al-ḥalli wa al-’aqdi, tetapi dari segi identitas personal keduanya tidak sama karena anggota DPR/MPR tidak semuanya muslim. Olehnya itu, sekalipun merupakan lembaga wakil-wakil rakyat, Ahlu al-ḥalli wa al-’aqdi tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara dengan undang-undang.[9]
Sebagaimana kontroversi sistem demokrasi pada kalangan cendekiawan dan aktifis muslim di Indonesia, demikian pula keikutsertaan dalam Pemilu, menimbulkan polemik di antara aktifis Islam, ada yang membolehkannya dan bahkan sampai pada pernyataan ”ekstrim” yaitu mewajibkannya atau mengharamkannya.[10]  Dalam Islam, penyebutan untuk nama demokrasi sering digunakan Istilah syūrā. Istilah syūrā berasal dari kata kerja syāwara - yusyāwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan, atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata syāwara adalah asyāra (memberi isyarat), tasyāwara (berunding, saling bertukar pendapat), syāwir (meminta pendapat, musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain).[11]
Dalam Islam, syūrā  yang berarti bermusyawarah merupakan tradisi yang telah lama dilaksanakan oleh Rasūlullāh saw Dasar-dasar normatif banyak disebutkan dalam al-Qur’ān, di antaranya: 
”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka ...”. (QS. al-Syūrā (42):38).[12]

Ayat di atas menghendaki agar umat Islam melakukan musyawarah dalam menghadapi setiap masalah, dan ini merupakan ketetapan Allah SWT yang dijadikan prinsip dasar dalam tata kehidupan masyarakat Muslim. hal tersebut bertujuan untuk mencari jalan terbaik dalam memecahkan masalah. Walaupun demikian, kekuatan nuşūş al-syara’ juga tetap menjadi landasan argumentasi utama dalam permasalahan ini, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:  
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah  (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. al-Nisā’ (4):59).[13]

Berdasar pada dalil-dalil di atas dan beberapa dalil lainnya dalam al-Qur’an (3:159), menurut Amin Rais, mungkin benar mengatakan bahwa syūrā dapat disebut demokrasi, tetapi dia secara sengaja menghindari istilah itu dalam konteks politik Islam, karena istilah demokrasi saat ini telah banyak disalahpahami. Namun demikian, Amin Rais tidak melihat adanya pertentangan antara Islam dengan demokrasi. Mengingat konsep syūrā dapat berperan sebagai benteng yang kuat menentang pelanggaran negara, otoritarianisme, despotisme, kediktatoran, dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak politik rakyat. Partisipasi politik rakyat dihormati sepenuhnya dalam penyelenggaraan negara, karena mereka pada hakikatnya adalah para pemilik negara.[14]  
Dari berbagai polemik tersebut, sesungguhnya ada dua hal prinsipil yang membedakan antara syūrā dan demokrasi, yaitu: Pertama, demokrasi adalah sistem politik sekuler, yang kedaulatannya berada di tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada di tangan Tuhan, dan suara mayoritas tidak dapat atau tidak mungkin mengubah syari’at, serta kedaulatan rakyat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan al-Qur’ān dan Sunnah. Kedua, dalam praktiknya suara rakyat dapat dimanipulasi, baik melalui ancaman maupun rayuan. Islam adalah sistem yang unik, yang mengembangkan prinsip-prinsip syūrā (musyawarah) dan hak-hak asasi manusia, di mana hak masing-masing sangat dihargai dan tidak dapat dimanipulasi.[15]   
Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa demokrasi merupakan istilah yang digemakan oleh para pemikir Barat dalam menciptakan iklim dan sistem politik modern, yang dikembangkan dengan berbagai modifikasi pada setiap penerapannya, sementara jauh sebelum itu, Islam telah mempopulerkan sistem syūrā yang bukan hanya berada pada tataran konsep normatif belaka, namun sampai pada tataran aplikasi di masa Nabi saw Bahkan secara historis, hal itu merupakan realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri.
Menyingkapi perbedaan interpretasi dan polemik yang berkaitan dengan sistem demokrasi atau keikutsertaan dalam pemilu, maka menurut hemat penulis, hal tersebut dapat dianalisa dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh yang bertujuan untuk meraih kemaslahatan (jalbu al-māşāliḥ) dan mencegah kemudaratan (daf’u al-mafāsid). Permasalahan pokok adalah, apakah hal tersebut termasuk dalam masalah ta’abbudiyah atau berada pada wilayah ijtihādiyyah, sehingga wajar terjadi perbedaan interpretasi dalam hal tersebut. Jika dilihat pada substansi hukum Islam yang ada, maka penulis memandangnya sebagai masalah ijtihādiyyah, di mana status hukumnya berbeda-beda pada setiap negeri bergantung pada perbedaan waktu, tempat, situasi, dan kondisi, serta realitas yang ada, sebagaimana kaidah yang menyatakan ”Taghayyur al-aḥkām bi taghayyuri al-amākinah wa al-azminah wa al-aḥwāl wa al-auḍā’”.
Dalam konteks keindonesiaan, melalui forum Ijtimā’ Ulamā’ yang diselenggarakan pada 24 – 26 Januari 2009 lalu di Padang Panjang, Sumatera Barat, MUI mengeluarkan sejumlah fatwā’, diantaranya tentang Golput (Tidak Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum). Dikutip dari naskahnya, fatwa itu berbunyi sebagai berikut:
1.      Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
2.      Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
3.      Imāmah dan imārah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat.
4.      Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddīq), terpercaya (amānah), aktif dan aspiratif (tablīgh), mempunyai kemampuan (faţānah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5.      Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.[16]

Selanjutnya fatwā’ ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar; (2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.[17]
Apabila sistem demokrasi dan pemilu tersebut ditinjau berdasarkan kaidah-kaidah fiqh, maka yang menjadi tujuan utamanya yaitu demi kemaslahatan bersama. Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau merupakan tinjauan sosiologis di mana manusia memerlukan hidup bermasyarakat dan agar supaya kehidupan manusia itu tertib dan teratur, sehingga perlu adanya orang-orang yang mewakili seluruh rakyat, yang dipilih berdasarkan keinginan dan pendapat rakyat, dan melihat konteks masyarakat Indonesia yang beraneka ragam suku, budaya, dan agama saat ini, bukanlah suatu keniscayaan yang dapat terjadi jika di antara wakil-wakil rakyat tersebut ada yang non-muslim. Di sisi lain pula, masyarakat sangat membutuhkan adanya seorang pemimpin dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan untuk mewujudkan hal tersebut, sistem demokrasi dan pemilu kemungkinan sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang pluralistik dan heterogen, sehingga permasalahan ini dapat dipertimbangan dengan melihat tiga hal, yaitu:
1.      Manusia bila dibiarkan tanpa pengendali atau pemimpin, hasilnya adalah kemudaratan dan kehancuran bagi manusia itu sendiri.
2.      Menolak kemudaratan yang diprediksi akan muncul, merupakan suatu hal yang diwajibkan dalam syarī’ah.
3.      Kemudaratan-kemudaratan tidak akan dapat dihindarkan melainkan dengan adanya seorang kepala negara (al-amīr), apapun sistem yang digunakan dalam menghasilkan seorang pemimpin.
Seandainya kita berpendapat bahwa sistem demokrasi dan keikutsertaan dalam pemilu bertentangan dengan nilai-nilai Islam, apakah pertentangan tersebut telah sampai pada tingkat keharaman, dan atau apakah termasuk dalam kategori darurat karena kita telah terjebak pada suatu sistem yang bertentangan dengan nilai Islam, yang menjadi sebab datangnya rukhşah sebab tidak mungkin untuk menghindarinya dalam kehidupan bernegara saat ini, sehingga kaidah الأَخْذُ بِأَخَفِّ الضَّرُوْرَيْنِ ”Mengambil yang paling ringan di antara dua kemudaratan” dapat diterapkan dalam masalah ini, hal itu perlu dikritisi lebih jauh.[18]  Namun, yang perlu menjadi bahan pertimbangan dalam masalah ini, adalah realitas yang terjadi pada pergolakan politik Indonesia saat ini, di mana keikutsertaan kaum muslimin Indonesia dalam demokrasi dan pemilu itu sendiri, baik secara aktif (dipilih dan memilih) maupun secara pasif (memilih) dapat membawa pada kemaslahatan kaum muslimin bangsa ini pada umumnya. Sebab, dengan terpilihnya utusan-utusan kaum muslimin dalam dewan legislatif, maka dengan berprasangka baik (ḥusnu al-ẓann) diharapkan dapat membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin itu sendiri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.  Oleh sebab itu, maka meraih kemaslahatan adalah sesuatu yang wajib hukumnya, didasarkan pada kaidah:  مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ الْمُطْلَقُ إِلاَّ بِهِ وَكَانَ مَقْدُوْرًا فَهُوُ وَاجِبٌ   “Perkara yang mana suatu kewajiban tidak sempurna tanpanya, dan perkara tersebut memungkinkan untuk dilakukan, maka hukumnya   juga  wajib”     


[1]Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Cet. XXI; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 50.
[2]Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 165.
[3]Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics, dalam Syamsuddin Haris, Demokrasi      di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1995), h. 5.  
[4]Nurcholis Madjid, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1994), h. 203.  Lihat juga: Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Ed. I., (Cet. I; akarta, Kencana, 2008), h. 81-88.   
[5]Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (t. Cet; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 110.
[6]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, (t. Cet; Madinah: Percetakan al-Qur’ān al-Karim Raja Fahd, 1426H), h. 207.
[7]Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia, (Makalah, Yogyakarta: 1994), h. 2.
[8]Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (t. Cet; Yogyakarta: Total Media, 2007), h. 38.
[9]Abdul Aziz Dahlan, et. al., (Ed)., Ensiklopedi Hukum Islam, Juz. III., (Cet. V; Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h. 1059.   
[10]Kontroversi tentang sistem demokrasi dan pemilu, bukanlah merupakan hal baru dalam perkembangan politik Islam di Indonesia, sebagian organisasi Islam yang “ekstrim” seperti, sebagian kelompok Salafiyyah atau Ahlussunnah Waljama’ah, sebagian aktifis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dibawah pimpinan Irfan S. Awwas, atau Jama’ah Anşārut Tauḥīd di bawah pimpinan Abū Bakar Ba’asyīr, atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahkan dengan tegas menolak sistem demokrasi yang dinilai bertentangan dengan prinsip Islam, dengan salah satu landasan argumentasi adalah pemahaman tekstual ayat di atas (QS. 6:116), yang berindikasi pada ketidak-ikutsertaan mereka pada Pemilu, dan yang semacamnya. Hal itu, tentu jauh berbeda dengan sikap dari kelompok Ikhwan al-Muslimin di Indonesia yang berevolusi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lebih memilih bergabung dalam sistem demokrasi walaupun pada dasarnya mereka juga tidak setuju dengan sistem tersebut, namun berupaya untuk melakukan revolusi damai dari dalam sistem demokrasi itu sendiri menuju sistem pemerintahan Islāmī. Polemik dalam persoalan ini bertambah panjang ketika pada akhir tahun 2008 lalu, salah satu tokoh PKS dan mantan Presiden PKS, Hidayat Nurwahid membuat pernyataan “Haram Golput”, bahkan polemik tersebut kemudian direspon dalam pertemuan Majelis Ulama se-Indonesia di Padang Panjang pada tanggal 24-26 Januari 2009.       
[11]Abdul Aziz Dahlan, et. al., (Ed)., Juz. IV.,  op. cit., h. 1264.  
[12]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., h. 789.
[13]Ibid., h. 128.
[14]M. Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Cet. II; Jakarta: Mizan, 1989), h. 48.
[15]Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, dalam Frans Magniz Suseno, at. al., Agama dan Demokrasi, (t. Cet; Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992), h. 43.
[16]Lihat: Fatwa-fatwa MUI Tentang Pemilu/Golput,  http://www.mui.or.id/
[17]Ibid.
[18]Jika demikian halnya, pada satu sisi, kita harus berhadapan dengan suatu sistem pemerintahan yang menurut sebagian aktifis muslim hal itu bertentangan dengan prinsip pemerintahan Islam (walaupun hal itu merupakan hukum yang bersifat fleksibel), sehingga dianggap sebagai bentuk kemudaratan terhadap nilai-nilai syari’at, dan juga dalam Islam tidak dikenal kaidah al-Gāyah tubarriru al-wasīlah (tujuan menghalalkan segala cara), tidak dengan beralasan demi Islam, sistem dan cara yang bertentangan dengan Islam pun digunakan. Namun pada sisi yang lain, kita juga harus berfikir realistis berdasarkan fenomena dan realita yang berkembang dalam masyarakat Indonesia saat ini, bagaimana jika pemerintahan atau dewan legislatif dipenuhi oleh orang-orang yang phobia terhadap Islam, tentunya hal tersebut juga merupakan kemudaratan bagi Islam dan kaum muslimin yang perlu untuk diwaspadai. Jika permasalahan seperti ini masuk dalam kategori ijtihādiyyah dan bukan bersifat ta’abbudiyah atau tauqīfiyyah, maka mempertimbangkan tingkat kemudaratan sangat berperan dalam penetapan hukumnya, seiring dengan situasi dan kondisi yang ada. Pertimbangan tingkat kemudaratan seperti itu, terdapat dalam kaidah fiqh yang berbunyi:  إذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أعْظَمُهَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أخَفِّهَا  “Apabila terdapat dua kemungkaran, ditinggalkan yang paling besar kemudaratan  dengan  memilih  yang  paling  ringan  diantara  keduanya”.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar