Tahni'ah

Kamis, 03 Januari 2013

Perbedaan Antara al-Qawā’id al-Uşūliyyah, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, dan al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah


Pembahasan mengenai fiqh dan uşūl fiqh tidak dapat terpisahkan dengan  kaidah-kaidah yang mendasari pembahasan tersebut, baik sebagai suatu metodologi yang menuju pada proses interpretasi naş, atau pun sebagai dasar pijakan yang membangun suatu pemahaman dan mendasari penerapan nilai-nilai fiqh tersebut. Di antara sekian banyak kaidah dalam wacana ilmu fiqh, terdapat kaidah-kaidah pokok yang mendasarinya, misalnya: al-Qawā’id al-Uşūliyyah, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, dan al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah. Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang perbedaan dari ketiga kaidah tersebut, terlebih dahulu kami memaparkan beberapa istilah yang sering muncul dalam pembahasan ini, yaitu istilah fiqh dan uşūl fiqh, sehingga tidak terjadi kerancuan dalam memahami kedua istilah tersebut.


Al-Fiqh
Fiqh ( الْفِقْهُ ) menurut bahasa merupakan bentuk   maşdar  dari kata kerja  فَقِهَ  -  يَفْقَهُ   yang artinya:  الْفَهْمُ  “faham”,  atau dalam istilah Abū Zahrah artinya:  الْفَهْمُ الْعَمِيْقُ  “pemahaman yang mendalam”.[1]  Dan menurut   al-Jurjānī artinya:   عِبَارَةٌ عَنْ فَهْمِ غَرْضِ الْمُتَكَلِّمِ مِنْ كَلاَمِهِ  “suatu pemahaman tentang maksud mutakallim (pembicara) dari perkataannya”.[2] Allah SWT berfirman dalam al-Qur’ān, yang berbunyi: 
“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”.(QS. Ţāhā (20):27-28).[3]

“… Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun”.(QS. Al-Nisā’ (4):78).[4]

“Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”.(QS. Al-A’rāf (7):179).[5]
Adapun dalam istilah para  fuqahā’, maka definisi fiqh adalah:           الْعِلْمُ بِأَحْكَامِ الأَفْعَالِ الشَّرْعِيَّةِ   “ilmu tentang hukum-hukum perbuatan yang bersifat syar’ī”. Seperti: halal dan haram, sah dan tidaknya, dan lain sebagainya, sehingga penyebutan bagi seorang yang faqīh (ahli dalam bidang fiqh) tidak dapat disandarkan kepada ahli Kalām, ahli Tafsīr, ahli Ḥadīś, dan semisalnya.[6] Walaupun demikian, dalam penerapannya istilah faqīh terkadang disandarkan kepada siapa saja yang memiliki keahlian dalam suatu bidang tertentu yang berkaitan dengan al’ulūm al-Islāmiyyah.   
Sedangkan menurut ‘Abdul Wahhāb Khallāf,  fiqh adalah:  
الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
 أَوْ هُوَ مَجْمُوْعَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ  
“Ilmu tentang hukum-hukum syara' yang bersifat amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci – atau kumpulan hukum-hukum syara' yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang rinci”.[7]
  
Dari definisi di atas, apabila fiqh diidentifikasi sebagai suatu disiplin ilmu ( الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ ), maka dapat dinyatakan secara deskriptif, bahwa fiqh merupakan suatu wacana intelektual dalam menata kehidupan manusia dengan menggunakan cara berfikir tertentu, terutama cara berfikir taksonomis dan logis untuk memahami substansi ayat-ayat al-Qur’ān dan Ḥadīś-ḥadīś hukum.  Dan jika diidentifikasi sebagai kumpulan hukum ( مَجْمُوْعَةُ الأَحْكَامِ (, maka dapat dinyatakan secara preskriptif[8], yaitu bahwa fiqh juga merupakan salah satu dimensi hukum Islam dalam bentuk hasil-hasil interpretasi para fuqahā’ sebagai indikator yang bersifat normatif dalam menata entitas kehidupan umat manusia. Dengan demikian, fiqh juga dapat diartikan dengan  الإِصَابَةُ “tujuan atau sasaran”,[9] sebagai suatu hasil istinbāţ dan ijtihād yang membutuhkan pemahaman, penelitian yang mendalam, dan perhatian, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mujtahid.   

Uşūl al-Fiqh (Legal Theory)
Uşūl al-Fiqh atau yang dalam term barat disebut dengan istilah        Legal Theory, berasal dari bahasa Arab yang merupakan gabungan dari dua kata “uşūl” dan “al-fiqh”.  Kata al-fiqh telah dijelaskan sebelumnya di atas, adapun kata uşūl secara etimologi yaitu: مَا يُبْنَى عَلَيْهِ “sesuatu yang dibangun di atasnya”. Dan secara terminologi bermakna:  مَا يُبْنَى عَلَيْهِ الْفِقْهُ  “sesuatu yang dibangun di atasnya fiqh”.[10] Adapun menurut ‘Abdul Wahhāb Khallāf, definisi uşūl al-fiqh secara terminologi yaitu:
الْعِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ وَ الْبُحُوْثِ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِفَادِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
أَوْ مَجْمُوْعَةُ ِالْقَوَاعِدِ وَ الْبُحُوْثِ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِفَادِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ

“Ilmu atau kumpulan kaidah dan penelitian yang mengantarkan kepada kesimpulan hukum-hukum syari’at yang bersifat ‘amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang rinci”.[11]

Imām al-Gazālī memberikan batasan terhadap uşūl al-fiqh, menurut beliau, uşūl al-fiqh merupakan pengetahuan tentang dalil-dalil dari segi petunjuknya (dalālah) kepada hukum secara menyeluruh, dan tidak secara terperinci. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa uşūl al-fiqh juga merupakan kumpulan kaidah atau ilmu tentang kaidah-kaidah yang dipergunakan sebagai alat untuk meng-istinbaţ-kan hukum-hukum fiqh atau hukum-hukum syara’ yang far’iyyah (‘amaliyah) dari dalil-dalinya yang rinci. Uşūl al-fiqh juga merupakan ilmu pengetahuan yang membicarakan dan membahas tentang sarana (wasīlah) dan metode-metode tertentu yang harus dilalui dan dipergunakan dalam meng-istinbāţ-kan dan meng-istikhraj-kan hukum-hukum ‘amaliyah dari dalil-dalilnya. Olehnya itu, uşūl al-fiqh membahas tentang qiyās, ijmā’, istişlāḥ, istişḥāb, dan semisalnya, berserta kehujjahannya, juga di dalamnya terdapat pembahasan mengenai dalil-dalil yang bersifat āmm, khāş, pembahasan tentang ‘amr, nahyī, dan lain sebagainya.    

Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah (Fiqh Legal Maxims)
Sebagaimana uşūl al-fiqh, istilah al-qawā’id al-fiqhiyyah juga merupakan kumpulan dari dua kata yaitu: “al-qawā’id” yang diambil dari kata “al-qā’idah” dan “al-fiqhiyyah” yang diambil dari kata “al-fiqh”.  Pembahasan mengenai definisi fiqh telah dijelaskan sebelumnya di atas. Secara etimologi, al-qā’idah artinya al-isās atau al-asās “dasar/pondasi” sebagaimana yang disebutkan oleh al-Rāgib al-Aşfahānī dalam mufradāt   al-Qur’ān, demikian pula menurut Ibnu Manẓūr dalam Lisān al-‘Arab,[12] sedangkan menurut al-Zujāj, al-qā’idah artinya: “dasar/pondasi yang dibangun di atasnya suatu bangunan”.[13]
Secara terminologi, makna al-qā’idah menurut Imām al-Jurjānī yaitu:  قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَا  “sesuatu yang bersifat umum yang diterapkan pada semua bagian-bagiannya”.[14]  Menurut al-Taftāzānī dalam al-Talwīḥ, bahwa al-qā’idah adalah “hukum yang bersifat menyeluruh yang diterapkan pada semua bagian-bagiannya agar diketahui hukum-hukum di dalamnya”, definisi yang sama juga disebutkan oleh al-Subkī dan              al-Ḥamawī. Dari definisi-definisi di atas, Muhammad Bakar Ismā’īl menyimpulkan makna al-qwā’id al-fiqhiyyah yaitu: “perkataan yang singkat dan bermakna pada permasalahan yang bersifat menyeluruh, terpancar darinya banyak cabang yang dapat diketahui pada hukum-hukum yang tak terhingga darinya”.[15]
Al-Suyūţī berpendapat, bahwa dengan kaidah-kaidah fiqh kita dapat mengetahui hakikat dari fiqh, objek bahasan fiqh, cara pengambilan fiqh, dan rahasia-rahasia fiqh, menjadi lebih terampil di dalam memahami fiqh dan menghadirkannya.[16] Sesungguhnya kaidah-kaidah fiqh itu menggambarkan nilai-nilai fiqh, kebaikan dan keutamaan, serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang kaidah fiqh menampakkan pola pikir fiqh Islam yang sangat luas dan mendalam, dan tampak pula kekuatan filosofinya yang rasional serta kemampuannya di dalam mengumpulkan fiqh dan mengembalikannya kepada akar-akarnya,[17]
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kaidah fiqh        (al-qawā’id al-fiqhiyyah) secara substansi merupakan suatu produk dari proses abstraksi (induksi) nilai-nilai fiqh yang dirumuskan secara ringkas, sederhana, dan sarat makna. Ia mengandung nilai-nilai filosofis yang bersifat strategis dari keseluruhan hukum-hukum syari’at yang diarahkan untuk memperoleh kemaslahatan dan mencegah timbulnya kemudaratan atau mafsadah. Pada sisi lain, kaidah fiqh dapat dikongkretkan (deduksi) kembali bagi penataan kehidupan manusia, yang mengandung nilai-nilai instrumental yang bersifat taktis dan konsepsional. Dengan demikian, kaidah fiqh dapat dijadikan barometer normatif untuk diaplikasikan bagi penataan entitas kehidupan manusia, serta bagi pengembangan wacana intelektual.
Sebelum dibahas tentang perbedaan dari ketiga istilah tersebut di atas, terlebih dahulu diuraikan secara umum definisi-definisinya:
Definisi al-Qawā’id al-Fiqhiyyah yang dapat disimpulkan adalah:
حُكْمٌ كُلِّيّ مُصَوَّغٌ فِيْ أَلْفَاظٍ مُوْجِزَةٍ - غَالِبًا - يَنْطَبِقُ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ أَوْ أَغْلَبِهَا فِيْ أَبْوَابٍ مُتَعَدِّدَةٍ لِتَعَرُّفِ أَحْكَامِهَا مِنْهُ
“Hukum yang bersifat  menyeluruh, yang umumnya  tersusun pada lafaz-lafaz yang sangat bermakna, yang diaplikasikan pada seluruh bagian-bagiannya atau sebagian besarnya dalam berbagai pembahasan agar dapat diketahui hukum-hukum yang terkandung di dalamnya”.[18]  

Adapun definisi al-Qawā’id al-Uşūliyyah  adalah:

الْقَوَاعِدُ الَّتِيْ يَنْدَرِجُ تَحْتَهَا أَنْوَاعٌ مِنَ الأَدِلَّةِ الإِجْمَالِيَّةِ,
الَّتِيْ يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Kaidah-kaidah yang terpancar darinya berbagai jenis dalil-dalil yang bersifat umum, yang dapat mengantarkan kepada kesimpulan hukum-hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang rinci”.[19]
 Adapun definisi al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah, maka penulis belum mendapatkan definisi yang menyeluruh mengenai penggabungan dari dua penggalan kata tersebut (al-Ḍawābiţ dan al-Fiqhiyyah), namun dari berbagai definisi para ulama mengenai kedua kata tersebut, penulis berupaya menyimpulkan bahwa definisi dari al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah adalah sebagai berikut:
الأَمْرُ الْكُلِّيُّ الْمُنْطَبِقُ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ فِيْ بَابٍ وَاحِدٍ لِتَعَرُّفِ أَحْكَامِهِ مِنْهُ
“Perkara yang bersifat menyeluruh, yang diaplikasikan pada seluruh bagian-bagiannya dalam satu pembahasan tertentu agar dapat diketahui hukum-hukum yang terkandung di dalamnya”.


Perbedaan al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan al-Qawā’id al-Uşūliyyah
Pada dasarnya, al-qawā’id al-fiqhiyyah dan al-qawā’id uşūliyyah   secara umum berada di bawah disiplin ilmu uşūl al-fiqh, namun pada penerapan dan penjabarannya secara khusus memiliki beberapa perbedaan, ‘Alī Aḥmad al-Nadawī menjelaskan beberapa perbedaan di antara keduanya sebagai beikut:
1.      Kaidah-kaidah uşūl adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbāţ al-aḥkām secara benar. Dengan uşūl al-fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, dan kata-kata larangan (al-naḥyi) menunjukkan haram.
2.      Kaidah uşūl meliputi semua bagian, sedang kaidah fiqh hanya bersifat aglabiyyah (secara umum) sehingga banyak sekali pengecualiannya. Walaupun demikian, Jaih Mubarok menyatakan bahwa dalam kaidah uşūl pun ada pengecualiannya.[20] 
3.      Kaidah uşūl adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali pada satu hukum yang sama. Menurut H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fiqh pun dapat menjadi cara untuk menetapkan hukum syara’ yang praktis. Sehingga sering terjadi, di samping menggunakan kaidah-kaidah uşūl, juga menggunakan kaidah-kaidah fiqh dalam menentukan hukum, terutama dalam penerapan hukum (taţbīq             al-aḥkām).[21]
4.      Kaidah-kaidah uşūl muncul sebelum furū’. Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah  furū’.
5.      Kaidah-kaidah uşūl menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalah fiqh yang terhimpun di dalam kaidah tadi.[22]     
Apabila diperhatikan dengan seksama substansi ilmu uşūl al-fiqh, ilmu fiqh, dan ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwasanya hukum-hukum fiqh merupakan hasil interpretasi terhadap dalil-dalil syar’i, dengan menggunakan kaidah-kaidah uşūl al-fiqh. Contohnya kewajiban shalat dan zakat, merupakan hasil istinbāţ dari firman Allah SWT: 
”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat...”(QS. al-Baqarah (2):43).[23]


Hasil istinbāţ tersebut diambil dengan menggunakan kaidah uşūliyyah yang berbunyi:  الأَمْرُ يُفِيْدُ الْوُجُوْبَ مَالاَ يُصَرِّفُهُ عَنْهُ صَارِفٌ ”perintah mengindikasikan suatu kewajiban selama tidak ada yang mengalihkannya dari makna perintah tersebut”. Demikian pula dengan keharaman zina, merupakan hasil istinbāţ dari firman Allah SWT: 
”Dan janganlah kamu mendekati zina ...”(QS. al-Isrā’ (17):32).[24]
Hasil istinbāţ tersebut diambil dengan menggunakan kaidah uşūliyyah yang berbunyi:النَّهْيُ يُفِيْدُ التَّحْرِيْمَ مَالَمْ يٌصَرِّفْهُ صَارِفٌ   ”pelarangan mengindikasikan suatu keharaman selama tidak ada yang mengalihkannya dari makna pelarangan tersebut”. Hukum-hukum fiqh yang sangat banyak dan merupakan hasil interpretasi atau istinbāţ dari dalil-dalil syara’ melalui metodologi kaidah-kaidah uşūl, menyebabkan seorang faqīh sangat membutuhkan suatu ḍābiţ bagi hukum-hukum yang banyak tersebut sebagai sesuatu yang dapat mengikat dan menguatkannya, pada sisi inilah, urgensi al-qawā’id al-fiqhiyyah diperlukan, kaidah-kaidah tersebut terstruktur dibawahnya setiap kaidah, yang terpancar dari setiap kaidah itu berbagai hukum syari’at dan berbagai pembahasan yang sangat banyak, disebabkan adanya illat atau qarīnah yang menghubungkannya. Contohnya, kaidah:   al-ḍararu yuzālu, terpancar dari kaidah tersebut berbagai pembahasan dalam bidang fiqh, diantara: menolak adanya kerusakan barang ketika bertransaksi bisnis, menolak berbagai kecurangan dalam sistem transaksi jual beli, yang dapat berdampak negatif kepada pembeli maupun penjual. Bahkan kaidah ini juga memasuki wilayah sistem perkawinan, diantaranya menolak adanya bahaya yang dapat berdampak negatif kepada salah satu dari pasangan suami istri, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kaidah-kaidah fiqh bagaikan ḍābiţ terhadap hukum-hukum syari’at yang serupa pada berbagai permasalahan berbeda, hal tersebut memberikan kemudahan bagi para fuqahā’ untuk menjaga dan menetapkan masalah-masalah furū’iyyah tersebut, di mana hal itu sangat sulit dilakukan apabila tidak mendapatkan suatu kaidah yang dapat mengumpulkan berbagai permasalahan furū’ tersebut. Adapun ilmu uşūl  al-fiqh merupakan kaidah-kaidah yang terpancar darinya berbagai jenis dalil-dalil yang bersifat ijmāliyyah (global), dan berfungsi sebagai perantara untuk menghasilkan hukum-hukum amaliyyah yang praktis dari dalil-dalilnya yang rinci.
Pada sisi lain, kaidah-kaidah fiqh juga yang bersifat umum (global) dan terpancar darinya berbagai permasalahan fiqh pada berbagai subjek pembahasan yang berbeda. Sehingga dapat ditemukan letak persamaan antara kaidah-kaidah fiqh dan kaidah-kaidah uşūl, yaitu kedua jenis kaidah tersebut merupakan konsep-konsep kaidah yang bersifat umum (global) yang terpancar darinya berbagai subjek pembahasan yang bersifat parsial (juz’ī). Adapun letak perbedaannya secara umum dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Dari ilmu uşūl terpancar sejumlah dalil-dalil yang bersifat global (ijmāliyah) yang dapat mengantarkan kepada istinbāţ  hukum-hukum syari’at dari dalil-dalilnya (sumbernya). Adapun ilmu qawā’id merupakan kumpulan hukum-hukum fiqh yang serupa, yang merujuk pada satu Ḥadīś Nabi saw yang menggabungkannya, atau kepada satu ḍābiţ fiqhī yang mengaturnya, atau kepada satu qiyās yang mengikatnya.  
2.      Kaidah-kaidah uşūl bersifat (muţarradah) tidak berdiri sendiri dan tidak ada pengecualian dalam penerapannya. Adapun dalam penerapan kaidah-kaidah fiqh terdapat banyak pengecualiannya, bahkan sebagian besar kaidah fiqh tidak terluput dari adanya pengecualian dalam aplikasinya.
3.      Sebagian besar kaidah-kaidah uşūl berasal dari lafaz-lafaz bahasa Arab yang tidak memiliki kemungkinan adanya naskh atau tarjīh, contohnya: al-amru li al-wujūb, wa al-nahyu li al-taḥrīm.  Adapun kaidah-kaidah fiqh berasal dari hukum-hukum dan permasalahan dalam syari’at yang serupa.[25]     

Perbedaan al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai perbedaan yang mendasar antara al-Qawā’id  al-Fiqhiyyah dan al-Qawā’id  al-Uşūliyyah, maka penulis memandang perlu untuk menjelaskan dua istilah lainnya yang hampir serupa dalam pengucapannya, yaitu al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah. Dan terkadang pada kedua kata tersebut           (al-qaidah dan al-ḍābiţ) saling memaknai satu sama lainnya, hal ini apabila ditinjau dari sisi bahasanya.
Adapun makna terminologinya, maka terdapat perbedaan yang sangat mendasar, yaitu, bahwasanya makna al-qāidah lebih umum daripada makna al-ḍābiţ, dan sebaliknya makna al-ḍābiţ lebih bersifat khusus, hal tersebut disebabkan karena makna al-qāidah meliputi banyak permasalahan furū’iyyah yang dari berbagai bab pembahasan, misalnya kaidah: al-ḍararu  yuzāl yang dapat diaplikasikan pada berbagai bab pembahasan fiqh yang bermacam-macam, diantaranya: pada permasalahan nikah atau perkawinan, talak, jihad, jual beli, penerapan hukuman, dan lain sebagainya. Sedangkan al-ḍābiţ meliputi berbagai permasalahan furū’iyyah pada satu bab pembahasan saja, seperti perkataan dalam pembahasan ilmu farā’id:
كُلُّ ذَكَرٍ يُدْلِيْ بِأُنْثَى لاَ يَرِثُ , وَكُلُّ مَنْ أَدْلَى بِوَاسِطَةٍ حَجَبَتْهُ تِلْكَ الْوَاسِطَةُ
”Setiap lelaki yang terhalang oleh wanita maka ia tidak diwarisi, dan setiap yang terhalang oleh perantara, maka ia terhalang mendapatkan warisan disebabkan adanya perantara tersebut”[26] 
   
Beberapa pandangan para ulama fiqh dan uşūl mengenai perbedaan di antara kedua kalimat tersebut dapat dijabarkan antara lain:
1.      Perkataan Ibnu Nujaim[27]: ”Dan perbedaan antara al-ḍābiţ dan al-qāidah, bahwa al-qāidah  mengumpulkan banyak furū’ (permasalahan cabang) dari berbagai bab pembahasan, sedangkan al-ḍābiţ mengumpulkannya dari satu bab saja.   
2.      Perkataan Tājuddīn al-Subkī[28]: ”... dan pada umumnya, sesuatu yang dikhususkan pada satu bab pembahasan dengan maksud menyusun atau mengatur deskripsi berbagai permasalahan yang serupa, disebut dengan         al-ḍābiţ”.[29] 
3.      Perkataan al-Bunānī[30]: ”... al-qāidah  tidak terkhusus pada satu bab, hal ini berbeda dengan al-ḍābiţ
4.      Perkataan al-Maqqarī[31]: ”Yang kami maksudkan dengan al-qāidah  adalah segala yang bersifat menyeluruh (kullī) yang lebih khusus daripada uşūl dan makna-makna rasionalitas yang bersifat umum, dan lebih umum daripada    (al-uqūd) dan seluruh  awābiţ  fiqh secara khusus”.[32]   
Di antara perbedaan al-qāidah  dan al-ḍābiţ juga adalah, bahwa sebagian besar dari al-qāidah al-fiqhiyyah merupakan wilayah yang disepakati oleh berbagai mażhab walaupun terkadang ada khilāf pada setiap cabang dari al-qāidah tersebut. Adapun al-ḍābiţ, maka kebanyakannya merupakan  al-ḍābiţ pada mażhab tertentu saja secara khusus, tidak pada mażhab lainnya. Contohnya, kaidah yang berbunyi al-masyaqqatu tajlibu al-taisīra, dan kaidah   al-yaqīnu lā yuzālu bi al-syak, keduanya merupakan kaidah yang disepakati oleh berbagai mażhab. Hal tersebut berbeda dengan al-ḍābiţ yang berbunyi:  إِنَّ صّلاَةَ الْمُقْتَدِيْ مُتَعَلِّقَةٌ بِصَلاَةِ الاِمَامِ ”sesungguhnya shalatnya ma’mum tergantung kepada shalatnya Imām”, dan makna ”tergantung” di atas yaitu shalatnya ma’mum akan rusak/batal jika shalatnya sang Imām rusak/batal, dan sebaliknya. Pernyataan di atas merupakan  al-ḍābiţ  pada  mażhab  Ḥanafiyah,  yang  kemudian  diselisihi oleh  mażhab  Syāfi’iyyah  misalnya,  di  mana  mereka  berpendapat:         إِنَّ صَلاَةَ الْمُقْتَدِيْ غَيْرُ مُتَعَلِّقَةٍ بِصَلاَةِ الإِمَامِ  ”sesungguhnya shalatnya ma’mum tidak tergantung dengan shalatnya Imām”.[33]


[1]Muḥammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh, (t. Cet; Kairo: Dār al-Fikri al-'Arabī, 1427H/2006 M), h. 9.
[2]Al-Syarīf ‘Alī ibn Muḥammad Al-Jurjānī, Kitāb al-Ta’rīfāt, (Cet. III; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408 H./1988 M.), h. 168. 
[3]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, (t. Cet; Madinah: Percetakan al-Qur’ān al-Karim Raja Fahd, 1426H), h.  478.
[4]Ibid., h.131.
[5]Ibid., h. 251.
[6]‘Abdul Qādir bin Aḥmad bin Muşţafā Badrān al-Daumi al-Dimasyqī, Nuzhatu          al-Khāţir al-‘Āţir, (Cet. I; Beirūt: Dār al-Ḥadīś, 1412 H/1991 M.), h. 21.
[7]'Abdul Wahhāb Khallāf,  'Ilmu Uşūli al-Fiqhi,  (Cet. XI; Qāhirah: Maktabah              al-Da'wah al-Islāmiyyah, 1397H/1977M), h. 11.; Lihat juga: al-Jurjānī, loc  cit.
[8]Berasal  dari kata preskripsi yang artinya resep, atau sumber dan landasan berfikir.
[9]Al-Jurjānī, ibid.
[10]Muḥammad Abū Zahrah, op. cit., h. 10.
[11]'Abdul Wahhāb Khallāf, op. cit., h. 12.  
[12]Abū al-Faḍl Jamāluddīn Muḥammad ibn Mukram ibn Manẓūr al-Afrīqī al-Mişrī, Lisān al-‘Arab, Juz. III., (Cet. III; Beirūt : Dār Şādir, t.th), h. 361.    
[13]Muḥammad Bakar Isma'il, al-Qawā'id al-Fiqhiyyah: Baina al-Aşālati wa al-Taujīh, (Cet. I; Kairo: Dār al-Manār, 1417H/1997M), h. 5.
[14]Al-Jurjānī,  op. cit.,  h. 181.
[15]Muḥammad Bakar Isma'il, op. cit., h. 6.
[16]Jalaluddīn 'Abdurrahmān bin Abī Bakar al-Suyūţī, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir fī Qawā'id wa Furū' Fiqhi al-Syāfi'iyyah, Juz. I., (Cet. I; Beirūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1419H/1998M), h. 6.     
[17]Muḥammad al-Rūkī, Qawā’id al-Fiqhi al-Islāmī,  (Cet. I; Beirūt: Dār al-Qalam, 1998 M./1410 H.), h. 1011.  
[18]Ismail ibn Hasan ibn Muḥammad ‘Ulwan, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah al-Khamsu       al-Kubrā wa al-Qawā’id  al-Mundarijah Taḥtahā, (Cet. II; Dammām: Dār Ibni al-Jauzy, 1420 H), h. 24.  
[19]Ibid., h. 30.
[20]Jaih Mubarok, Kaidah-kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 19.   
[21]H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Ed. 1., (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 23.
[22]‘Alī Aḥmad al-Nadawī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, Cet. V; Beirūt: Dār al-Qalam, 1420 H./2000 M.), h. 68-69.; Lihat juga: H. A. Djazuli, ibid.
[23]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi ArAbīa, op. cit., h. 16.
[24]Ibid., h.  429.
[25]Ismail ibn Hasan ibn Muḥammad ‘Ulwan, op. cit.,  h. 30.
[26]ibid., h. 25.
[27]Zainuddīn ibn Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Muḥammad, terkenal dengan nama “Ibnu Nujaim” merupakan tokoh fiqh mażhab Ḥanafiyyah di Mesir (w. 970 H).  Lihat: Khairuddīn  al-Zarkaly, al-A’lām, Juz. III., (Cet. VI; Beirūt: Dār  al-‘Ilmi al-Malayiin, 1984 M.),  h. 64.; Abū  al-Faraj ‘Abdul Ḥayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī, Syażarāt al-Żahab fī Akhbār Man Żahab, Juz. VIII., (t. Cet; Beirūt: al-Maktab al-Tijārī, t. th), h. 358. 
[28]‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali ibn ‘Abdil Kāfī ibn ‘Ali ibn Tamām ibn Yūsuf al-Subkī al-Syāfi’ī, Tājuddīn Abū Naşr, Lahir di Mesir tahun 727 H., wafat 771 H. di Ţā’ūn, dan dikuburkan di Safhu Qāsiyūn. salah seorang ulamā’ fiqh mażhab Syāfi’iyyah. Lihat: Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī, Juz. VI., ibid., h. 221.  
[29]Tājuddīn ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali ibn ‘Abdil Kāfī al-Subkī, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir,  Juz. I., (Cet. I; Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1413 H.), h. 11.  
[30]‘Abdurraḥmān ibn Jādulullāh al-Bunānī al-Magribī, Abū Zaid, seorang ahli fiqh dan uşūl  Dari kalangan mażhab Mālikiyah (w. 1198 H.).; Lihat:  Khairuddīn al-Zarkalī, op.cit., h. 302.
[31] Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakar ibn Yaḥyā ibn ‘Abdirraḥmān ibn Abī Bakar ibn ‘Ali al-Qurasī al-Maqqarī al-Tilmisānī, Abū ‘Abdillāh, seorang ulamā’ mażhab Mālikiyah (w. 758 H./759 H.). Lihat: Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Farḥūn al-Mālikī, al-Dībāju al-Mażhabū fī Ma’rifati A’yāni ‘Ulamā’i al-MażhAbī, (Cet. I; Beirūt: Dār  al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H.), h. 382.
[32]Abū ‘Abdirrahman Muḥammad ibn Muḥammad ibn Aḥmad al-Maqqary,                 al-Qawā’id, Juz. I., (t. Cet; Makkah: Markaz Iḥyā’ al-Turāś al-Islāmī Ummul Qurā University, t. th), h. 212.
[33]Ismā’īl ibn Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar