Pembahasan mengenai fiqh
dan uşūl fiqh tidak dapat terpisahkan dengan kaidah-kaidah yang mendasari pembahasan
tersebut, baik sebagai suatu metodologi yang menuju pada proses interpretasi naş,
atau pun sebagai dasar pijakan yang membangun suatu pemahaman dan mendasari
penerapan nilai-nilai fiqh tersebut. Di antara sekian banyak kaidah dalam
wacana ilmu fiqh, terdapat kaidah-kaidah pokok yang mendasarinya, misalnya: al-Qawā’id
al-Uşūliyyah, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, dan al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah. Namun, sebelum
membahas lebih jauh tentang perbedaan dari ketiga kaidah tersebut, terlebih
dahulu kami memaparkan beberapa istilah yang sering muncul dalam pembahasan
ini, yaitu istilah fiqh dan uşūl fiqh, sehingga tidak terjadi kerancuan dalam
memahami kedua istilah tersebut.
Al-Fiqh
Fiqh ( الْفِقْهُ
) menurut bahasa merupakan
bentuk maşdar dari kata kerja فَقِهَ -
يَفْقَهُ yang
artinya: الْفَهْمُ “faham”, atau dalam istilah Abū Zahrah artinya:
الْفَهْمُ
الْعَمِيْقُ “pemahaman
yang mendalam”.[1]
Dan menurut al-Jurjānī artinya: عِبَارَةٌ
عَنْ فَهْمِ غَرْضِ الْمُتَكَلِّمِ مِنْ كَلاَمِهِ “suatu
pemahaman tentang maksud mutakallim (pembicara) dari perkataannya”.[2]
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’ān, yang berbunyi:
“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti
perkataanku”.(QS. Ţāhā (20):27-28).[3]
“… Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan
sedikitpun”.(QS. Al-Nisā’ (4):78).[4]
Adapun dalam istilah para fuqahā’, maka definisi fiqh adalah: الْعِلْمُ
بِأَحْكَامِ الأَفْعَالِ الشَّرْعِيَّةِ “ilmu tentang hukum-hukum perbuatan yang bersifat syar’ī”. Seperti: halal dan haram, sah dan tidaknya, dan lain sebagainya, sehingga
penyebutan bagi seorang yang faqīh (ahli dalam bidang fiqh) tidak dapat disandarkan kepada ahli Kalām, ahli Tafsīr, ahli Ḥadīś, dan semisalnya.[6] Walaupun demikian, dalam penerapannya istilah faqīh terkadang disandarkan kepada siapa saja yang memiliki keahlian dalam suatu
bidang tertentu yang berkaitan dengan al’ulūm al-Islāmiyyah.
Sedangkan menurut ‘Abdul Wahhāb Khallāf, fiqh adalah:
الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ
أَوْ هُوَ مَجْمُوْعَةُ الْأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Ilmu
tentang hukum-hukum syara' yang bersifat amaliyah yang diperoleh dari
dalil-dalil yang rinci – atau kumpulan hukum-hukum syara' yang bersifat praktis
yang digali dari dalil-dalil yang rinci”.[7]
Dari definisi di atas,
apabila fiqh diidentifikasi sebagai suatu disiplin ilmu ( الْعِلْمُ
بِالْأَحْكَامِ ), maka
dapat dinyatakan secara deskriptif, bahwa fiqh merupakan suatu wacana
intelektual dalam menata kehidupan manusia dengan menggunakan cara berfikir
tertentu, terutama cara berfikir taksonomis dan logis untuk memahami substansi
ayat-ayat al-Qur’ān dan Ḥadīś-ḥadīś hukum. Dan jika diidentifikasi sebagai kumpulan hukum ( مَجْمُوْعَةُ
الأَحْكَامِ (, maka dapat dinyatakan secara
preskriptif[8], yaitu
bahwa fiqh juga merupakan salah satu dimensi hukum Islam dalam bentuk hasil-hasil
interpretasi para fuqahā’ sebagai indikator yang bersifat normatif dalam
menata entitas kehidupan umat manusia. Dengan demikian, fiqh juga dapat
diartikan dengan الإِصَابَةُ “tujuan
atau sasaran”,[9] sebagai suatu hasil istinbāţ dan
ijtihād yang membutuhkan pemahaman, penelitian yang mendalam, dan
perhatian, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mujtahid.
Uşūl al-Fiqh (Legal Theory)
Uşūl al-Fiqh atau yang dalam term barat disebut
dengan istilah Legal Theory, berasal
dari bahasa Arab yang merupakan gabungan dari dua kata “uşūl” dan “al-fiqh”.
Kata al-fiqh telah dijelaskan
sebelumnya di atas, adapun kata uşūl secara etimologi yaitu: مَا
يُبْنَى عَلَيْهِ “sesuatu yang dibangun di atasnya”. Dan secara terminologi bermakna: مَا يُبْنَى عَلَيْهِ
الْفِقْهُ “sesuatu yang dibangun di atasnya fiqh”.[10] Adapun menurut ‘Abdul Wahhāb Khallāf,
definisi uşūl al-fiqh secara terminologi yaitu:
الْعِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ وَ
الْبُحُوْثِ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِفَادِ الأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
أَوْ مَجْمُوْعَةُ ِالْقَوَاعِدِ وَ
الْبُحُوْثِ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِفَادِ الأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Ilmu
atau kumpulan kaidah dan penelitian yang mengantarkan kepada kesimpulan
hukum-hukum syari’at yang bersifat ‘amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya
yang rinci”.[11]
Imām al-Gazālī memberikan batasan terhadap uşūl
al-fiqh, menurut beliau, uşūl al-fiqh merupakan pengetahuan tentang
dalil-dalil dari segi petunjuknya (dalālah) kepada hukum secara
menyeluruh, dan tidak secara terperinci. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa uşūl
al-fiqh juga merupakan kumpulan kaidah atau ilmu tentang kaidah-kaidah yang
dipergunakan sebagai alat untuk meng-istinbaţ-kan hukum-hukum fiqh atau
hukum-hukum syara’ yang far’iyyah (‘amaliyah) dari
dalil-dalinya yang rinci. Uşūl al-fiqh juga merupakan ilmu pengetahuan
yang membicarakan dan membahas tentang sarana (wasīlah) dan
metode-metode tertentu yang harus dilalui dan dipergunakan dalam meng-istinbāţ-kan
dan meng-istikhraj-kan hukum-hukum ‘amaliyah dari dalil-dalilnya.
Olehnya itu, uşūl al-fiqh membahas tentang qiyās, ijmā’,
istişlāḥ, istişḥāb, dan semisalnya, berserta kehujjahannya, juga di
dalamnya terdapat pembahasan mengenai dalil-dalil yang bersifat āmm, khāş, pembahasan
tentang ‘amr, nahyī, dan lain sebagainya.
Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah (Fiqh Legal
Maxims)
Sebagaimana uşūl
al-fiqh, istilah al-qawā’id al-fiqhiyyah juga merupakan kumpulan
dari dua kata yaitu: “al-qawā’id” yang diambil dari kata “al-qā’idah”
dan “al-fiqhiyyah” yang diambil dari kata “al-fiqh”. Pembahasan mengenai definisi fiqh telah
dijelaskan sebelumnya di atas. Secara etimologi, al-qā’idah artinya al-isās
atau al-asās “dasar/pondasi” sebagaimana yang disebutkan oleh
al-Rāgib al-Aşfahānī dalam mufradāt al-Qur’ān,
demikian pula menurut Ibnu Manẓūr dalam Lisān al-‘Arab,[12]
sedangkan menurut al-Zujāj, al-qā’idah artinya: “dasar/pondasi yang
dibangun di atasnya suatu bangunan”.[13]
Secara terminologi, makna
al-qā’idah menurut Imām al-Jurjānī yaitu: قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ
مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَا “sesuatu yang bersifat umum yang diterapkan pada semua
bagian-bagiannya”.[14] Menurut
al-Taftāzānī dalam al-Talwīḥ, bahwa al-qā’idah adalah “hukum yang
bersifat menyeluruh yang diterapkan
pada semua bagian-bagiannya agar diketahui hukum-hukum di dalamnya”, definisi
yang sama juga disebutkan oleh al-Subkī dan al-Ḥamawī. Dari definisi-definisi
di atas, Muhammad Bakar Ismā’īl menyimpulkan makna al-qwā’id al-fiqhiyyah yaitu:
“perkataan yang singkat dan bermakna pada permasalahan yang bersifat
menyeluruh, terpancar darinya banyak cabang yang dapat diketahui pada
hukum-hukum yang tak terhingga darinya”.[15]
Al-Suyūţī berpendapat,
bahwa dengan kaidah-kaidah fiqh kita dapat mengetahui hakikat dari fiqh, objek
bahasan fiqh, cara pengambilan fiqh, dan rahasia-rahasia fiqh, menjadi lebih
terampil di dalam memahami fiqh dan menghadirkannya.[16]
Sesungguhnya kaidah-kaidah fiqh itu menggambarkan nilai-nilai fiqh, kebaikan
dan keutamaan, serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang kaidah fiqh
menampakkan pola pikir fiqh Islam yang sangat luas dan mendalam, dan tampak
pula kekuatan filosofinya yang rasional serta kemampuannya di dalam mengumpulkan
fiqh dan mengembalikannya kepada akar-akarnya,[17]
Berdasarkan uraian di
atas, disimpulkan bahwa kaidah fiqh (al-qawā’id
al-fiqhiyyah) secara substansi merupakan suatu produk dari proses abstraksi
(induksi) nilai-nilai fiqh yang dirumuskan secara ringkas, sederhana, dan sarat
makna. Ia mengandung nilai-nilai filosofis yang bersifat strategis dari
keseluruhan hukum-hukum syari’at yang diarahkan untuk memperoleh kemaslahatan
dan mencegah timbulnya kemudaratan atau mafsadah. Pada sisi lain, kaidah fiqh
dapat dikongkretkan (deduksi) kembali bagi penataan kehidupan manusia, yang
mengandung nilai-nilai instrumental yang bersifat taktis dan konsepsional. Dengan
demikian, kaidah fiqh dapat dijadikan barometer normatif untuk diaplikasikan
bagi penataan entitas kehidupan manusia, serta bagi pengembangan wacana
intelektual.
Sebelum dibahas tentang perbedaan dari ketiga istilah tersebut di atas,
terlebih dahulu diuraikan secara umum definisi-definisinya:
Definisi al-Qawā’id al-Fiqhiyyah yang dapat disimpulkan adalah:
حُكْمٌ كُلِّيّ
مُصَوَّغٌ فِيْ أَلْفَاظٍ مُوْجِزَةٍ - غَالِبًا - يَنْطَبِقُ عَلَى جَمِيْعِ
جُزْئِيَّاتِهِ أَوْ
أَغْلَبِهَا فِيْ أَبْوَابٍ مُتَعَدِّدَةٍ لِتَعَرُّفِ أَحْكَامِهَا مِنْهُ
“Hukum yang bersifat menyeluruh, yang umumnya tersusun pada lafaz-lafaz yang sangat bermakna,
yang diaplikasikan pada seluruh bagian-bagiannya atau sebagian besarnya dalam
berbagai pembahasan agar dapat diketahui hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya”.[18]
Adapun definisi al-Qawā’id al-Uşūliyyah adalah:
الْقَوَاعِدُ
الَّتِيْ يَنْدَرِجُ تَحْتَهَا أَنْوَاعٌ مِنَ الأَدِلَّةِ الإِجْمَالِيَّةِ,
الَّتِيْ
يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ
أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Kaidah-kaidah yang terpancar darinya berbagai jenis dalil-dalil
yang bersifat umum, yang dapat mengantarkan kepada kesimpulan hukum-hukum yang
bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang rinci”.[19]
Adapun definisi al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah, maka
penulis belum mendapatkan definisi yang menyeluruh mengenai penggabungan dari dua
penggalan kata tersebut (al-Ḍawābiţ dan al-Fiqhiyyah), namun dari
berbagai definisi para ulama mengenai kedua kata tersebut, penulis berupaya menyimpulkan
bahwa definisi dari al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah adalah sebagai berikut:
الأَمْرُ الْكُلِّيُّ الْمُنْطَبِقُ
عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ فِيْ بَابٍ وَاحِدٍ لِتَعَرُّفِ أَحْكَامِهِ مِنْهُ
“Perkara yang bersifat menyeluruh, yang
diaplikasikan pada seluruh bagian-bagiannya dalam satu pembahasan tertentu agar
dapat diketahui hukum-hukum yang terkandung di dalamnya”.
Perbedaan
al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan al-Qawā’id al-Uşūliyyah
Pada dasarnya, al-qawā’id al-fiqhiyyah dan al-qawā’id
uşūliyyah secara umum berada di
bawah disiplin ilmu uşūl al-fiqh, namun pada penerapan dan penjabarannya
secara khusus memiliki beberapa perbedaan, ‘Alī Aḥmad al-Nadawī menjelaskan
beberapa perbedaan di antara keduanya sebagai beikut:
1.
Kaidah-kaidah uşūl
adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbāţ al-aḥkām secara
benar. Dengan uşūl al-fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya,
seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, dan
kata-kata larangan (al-naḥyi) menunjukkan haram.
2.
Kaidah uşūl meliputi
semua bagian, sedang kaidah fiqh hanya bersifat aglabiyyah (secara umum)
sehingga banyak sekali pengecualiannya. Walaupun demikian, Jaih Mubarok
menyatakan bahwa dalam kaidah uşūl pun ada pengecualiannya.[20]
3.
Kaidah uşūl adalah
cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali pada satu hukum yang sama.
Menurut H. A. Djazuli, kaidah-kaidah fiqh pun dapat menjadi cara untuk
menetapkan hukum syara’ yang praktis. Sehingga sering terjadi, di
samping menggunakan kaidah-kaidah uşūl, juga menggunakan kaidah-kaidah fiqh
dalam menentukan hukum, terutama dalam penerapan hukum (taţbīq al-aḥkām).[21]
4.
Kaidah-kaidah uşūl
muncul sebelum furū’. Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furū’.
5.
Kaidah-kaidah uşūl
menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil
yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut.
Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalah fiqh yang terhimpun di dalam kaidah
tadi.[22]
Apabila diperhatikan dengan seksama substansi ilmu uşūl al-fiqh, ilmu
fiqh, dan ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah, maka dapat ditarik suatu
benang merah bahwasanya hukum-hukum fiqh merupakan hasil interpretasi terhadap
dalil-dalil syar’i, dengan menggunakan kaidah-kaidah uşūl al-fiqh.
Contohnya kewajiban shalat dan zakat, merupakan hasil istinbāţ dari firman
Allah SWT:
”Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat...”(QS. al-Baqarah
(2):43).[23]
Hasil istinbāţ tersebut
diambil dengan menggunakan kaidah uşūliyyah yang
berbunyi: الأَمْرُ يُفِيْدُ الْوُجُوْبَ مَالاَ يُصَرِّفُهُ عَنْهُ
صَارِفٌ ”perintah mengindikasikan suatu kewajiban selama tidak
ada yang mengalihkannya dari makna perintah tersebut”. Demikian pula dengan keharaman zina, merupakan hasil istinbāţ dari
firman Allah SWT:
”Dan janganlah kamu mendekati zina ...”(QS. al-Isrā’
(17):32).[24]
Hasil istinbāţ tersebut diambil dengan menggunakan kaidah uşūliyyah
yang berbunyi:النَّهْيُ يُفِيْدُ التَّحْرِيْمَ مَالَمْ يٌصَرِّفْهُ صَارِفٌ ”pelarangan mengindikasikan suatu
keharaman selama tidak ada yang mengalihkannya dari makna pelarangan tersebut”.
Hukum-hukum fiqh yang sangat banyak dan merupakan hasil interpretasi atau istinbāţ
dari dalil-dalil syara’ melalui metodologi kaidah-kaidah uşūl, menyebabkan
seorang faqīh sangat membutuhkan suatu ḍābiţ bagi hukum-hukum yang banyak tersebut sebagai sesuatu yang
dapat mengikat dan menguatkannya, pada sisi inilah, urgensi al-qawā’id
al-fiqhiyyah diperlukan, kaidah-kaidah tersebut terstruktur dibawahnya setiap
kaidah, yang terpancar dari setiap kaidah itu berbagai hukum syari’at dan
berbagai pembahasan yang sangat banyak, disebabkan adanya illat atau qarīnah
yang menghubungkannya. Contohnya, kaidah:
al-ḍararu yuzālu, terpancar
dari kaidah tersebut berbagai pembahasan dalam bidang fiqh, diantara: menolak
adanya kerusakan barang ketika bertransaksi bisnis, menolak berbagai kecurangan
dalam sistem transaksi jual beli, yang dapat berdampak negatif kepada pembeli
maupun penjual. Bahkan kaidah ini juga memasuki wilayah sistem perkawinan,
diantaranya menolak adanya bahaya yang dapat berdampak negatif kepada salah
satu dari pasangan suami istri, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kaidah-kaidah fiqh bagaikan ḍābiţ terhadap
hukum-hukum syari’at yang serupa pada berbagai permasalahan berbeda, hal
tersebut memberikan kemudahan bagi para fuqahā’ untuk menjaga dan
menetapkan masalah-masalah furū’iyyah tersebut, di mana hal itu sangat
sulit dilakukan apabila tidak mendapatkan suatu kaidah yang dapat mengumpulkan
berbagai permasalahan furū’ tersebut. Adapun ilmu uşūl al-fiqh merupakan kaidah-kaidah yang
terpancar darinya berbagai jenis dalil-dalil yang bersifat ijmāliyyah (global),
dan berfungsi sebagai perantara untuk menghasilkan hukum-hukum amaliyyah yang
praktis dari dalil-dalilnya yang rinci.
Pada sisi lain, kaidah-kaidah fiqh juga yang bersifat umum (global) dan
terpancar darinya berbagai permasalahan fiqh pada berbagai subjek pembahasan
yang berbeda. Sehingga dapat ditemukan letak persamaan antara kaidah-kaidah fiqh
dan kaidah-kaidah uşūl, yaitu kedua jenis kaidah tersebut merupakan
konsep-konsep kaidah yang bersifat umum (global) yang terpancar darinya
berbagai subjek pembahasan yang bersifat parsial (juz’ī). Adapun letak
perbedaannya secara umum dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Dari ilmu uşūl
terpancar sejumlah dalil-dalil yang bersifat global (ijmāliyah) yang
dapat mengantarkan kepada istinbāţ hukum-hukum
syari’at dari dalil-dalilnya (sumbernya). Adapun ilmu qawā’id merupakan
kumpulan hukum-hukum fiqh yang serupa, yang merujuk pada satu Ḥadīś Nabi saw
yang menggabungkannya, atau kepada satu ḍābiţ fiqhī yang mengaturnya,
atau kepada satu qiyās yang mengikatnya.
2.
Kaidah-kaidah uşūl
bersifat (muţarradah) tidak berdiri sendiri dan tidak ada
pengecualian dalam penerapannya. Adapun dalam penerapan kaidah-kaidah fiqh
terdapat banyak pengecualiannya, bahkan sebagian besar kaidah fiqh tidak
terluput dari adanya pengecualian dalam aplikasinya.
3.
Sebagian besar
kaidah-kaidah uşūl berasal dari lafaz-lafaz bahasa Arab yang tidak
memiliki kemungkinan adanya naskh atau tarjīh, contohnya: al-amru
li al-wujūb, wa al-nahyu li al-taḥrīm. Adapun
kaidah-kaidah fiqh berasal dari hukum-hukum dan permasalahan dalam syari’at
yang serupa.[25]
Perbedaan
al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai perbedaan yang mendasar
antara al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan
al-Qawā’id al-Uşūliyyah, maka
penulis memandang perlu untuk menjelaskan dua istilah lainnya yang hampir serupa
dalam pengucapannya, yaitu al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan al-Ḍawābiţ al-Fiqhiyyah.
Dan terkadang pada kedua kata tersebut (al-qaidah dan al-ḍābiţ) saling
memaknai satu sama lainnya, hal ini apabila ditinjau dari sisi bahasanya.
Adapun makna terminologinya, maka terdapat perbedaan yang sangat mendasar,
yaitu, bahwasanya makna al-qāidah lebih umum daripada makna al-ḍābiţ,
dan sebaliknya makna al-ḍābiţ lebih bersifat khusus,
hal tersebut disebabkan karena makna al-qāidah meliputi banyak
permasalahan furū’iyyah yang dari berbagai bab pembahasan, misalnya
kaidah: al-ḍararu yuzāl yang
dapat diaplikasikan pada berbagai bab pembahasan fiqh yang bermacam-macam,
diantaranya: pada permasalahan nikah atau perkawinan, talak, jihad, jual beli,
penerapan hukuman, dan lain sebagainya. Sedangkan al-ḍābiţ meliputi
berbagai permasalahan furū’iyyah pada satu bab pembahasan saja, seperti
perkataan dalam pembahasan ilmu farā’id:
كُلُّ ذَكَرٍ يُدْلِيْ بِأُنْثَى لاَ يَرِثُ , وَكُلُّ مَنْ
أَدْلَى بِوَاسِطَةٍ حَجَبَتْهُ تِلْكَ الْوَاسِطَةُ
”Setiap lelaki yang terhalang oleh wanita maka ia tidak diwarisi, dan
setiap yang terhalang oleh perantara, maka ia terhalang mendapatkan warisan
disebabkan adanya perantara tersebut”[26]
Beberapa pandangan para ulama fiqh dan uşūl mengenai perbedaan di
antara kedua kalimat tersebut dapat dijabarkan antara lain:
1.
Perkataan Ibnu
Nujaim[27]:
”Dan perbedaan antara al-ḍābiţ dan al-qāidah, bahwa al-qāidah mengumpulkan banyak furū’ (permasalahan
cabang) dari berbagai bab pembahasan, sedangkan al-ḍābiţ mengumpulkannya
dari satu bab saja.
2.
Perkataan Tājuddīn
al-Subkī[28]:
”... dan pada umumnya, sesuatu yang dikhususkan pada satu bab pembahasan dengan
maksud menyusun atau mengatur deskripsi berbagai permasalahan yang serupa,
disebut dengan al-ḍābiţ”.[29]
3.
Perkataan al-Bunānī[30]:
”... al-qāidah tidak terkhusus
pada satu bab, hal ini berbeda dengan al-ḍābiţ”
4.
Perkataan al-Maqqarī[31]:
”Yang kami maksudkan dengan al-qāidah adalah segala yang bersifat menyeluruh (kullī)
yang lebih khusus daripada uşūl dan makna-makna rasionalitas yang
bersifat umum, dan lebih umum daripada (al-uqūd) dan seluruh ḍawābiţ fiqh secara khusus”.[32]
Di antara perbedaan al-qāidah dan
al-ḍābiţ juga adalah, bahwa sebagian besar dari al-qāidah al-fiqhiyyah
merupakan wilayah yang disepakati oleh berbagai mażhab walaupun terkadang
ada khilāf pada setiap cabang dari al-qāidah tersebut. Adapun al-ḍābiţ,
maka kebanyakannya merupakan al-ḍābiţ
pada mażhab tertentu saja secara khusus, tidak pada mażhab lainnya.
Contohnya, kaidah yang berbunyi al-masyaqqatu tajlibu al-taisīra, dan
kaidah al-yaqīnu lā yuzālu bi al-syak, keduanya
merupakan kaidah yang disepakati oleh berbagai mażhab. Hal tersebut berbeda
dengan al-ḍābiţ yang berbunyi: إِنَّ صّلاَةَ الْمُقْتَدِيْ مُتَعَلِّقَةٌ بِصَلاَةِ الاِمَامِ ”sesungguhnya
shalatnya ma’mum tergantung kepada shalatnya Imām”, dan makna
”tergantung” di atas yaitu shalatnya ma’mum akan rusak/batal jika shalatnya
sang Imām rusak/batal, dan sebaliknya. Pernyataan di atas merupakan al-ḍābiţ pada mażhab Ḥanafiyah,
yang kemudian diselisihi oleh mażhab Syāfi’iyyah
misalnya, di mana
mereka berpendapat: إِنَّ صَلاَةَ الْمُقْتَدِيْ غَيْرُ مُتَعَلِّقَةٍ
بِصَلاَةِ الإِمَامِ
”sesungguhnya
shalatnya ma’mum tidak tergantung dengan shalatnya Imām”.[33]
[1]Muḥammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh, (t. Cet;
Kairo: Dār al-Fikri al-'Arabī, 1427H/2006 M), h. 9.
[2]Al-Syarīf
‘Alī ibn Muḥammad Al-Jurjānī, Kitāb al-Ta’rīfāt, (Cet. III; Beirūt: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408 H./1988 M.), h. 168.
[3]Kementrian
Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia,
Al-Qur’ān dan Terjemahnya, (t. Cet; Madinah: Percetakan al-Qur’ān
al-Karim Raja Fahd, 1426H), h. 478.
[4]Ibid.,
h.131.
[6]‘Abdul Qādir bin Aḥmad bin Muşţafā Badrān al-Daumi
al-Dimasyqī, Nuzhatu
al-Khāţir al-‘Āţir, (Cet. I; Beirūt:
Dār al-Ḥadīś, 1412 H/1991 M.), h. 21.
[7]'Abdul
Wahhāb Khallāf, 'Ilmu Uşūli
al-Fiqhi, (Cet. XI; Qāhirah:
Maktabah al-Da'wah
al-Islāmiyyah, 1397H/1977M), h. 11.; Lihat juga: al-Jurjānī, loc cit.
[9]Al-Jurjānī,
ibid.
[10]Muḥammad
Abū Zahrah, op. cit., h. 10.
[11]'Abdul
Wahhāb Khallāf, op. cit., h. 12.
[12]Abū
al-Faḍl Jamāluddīn Muḥammad ibn Mukram ibn Manẓūr al-Afrīqī al-Mişrī, Lisān
al-‘Arab, Juz. III., (Cet. III; Beirūt
: Dār Şādir, t.th), h. 361.
[13]Muḥammad
Bakar Isma'il, al-Qawā'id al-Fiqhiyyah: Baina al-Aşālati wa al-Taujīh, (Cet.
I; Kairo: Dār al-Manār, 1417H/1997M), h. 5.
[16]Jalaluddīn 'Abdurrahmān bin Abī Bakar
al-Suyūţī, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir fī Qawā'id wa Furū' Fiqhi al-Syāfi'iyyah,
Juz. I., (Cet. I; Beirūt:
Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1419H/1998M), h. 6.
[17]Muḥammad
al-Rūkī, Qawā’id al-Fiqhi al-Islāmī, (Cet. I; Beirūt:
Dār al-Qalam, 1998 M./1410 H.), h. 1011.
[18]Ismail
ibn Hasan ibn Muḥammad ‘Ulwan, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah al-Khamsu al-Kubrā wa al-Qawā’id al-Mundarijah Taḥtahā, (Cet. II; Dammām:
Dār Ibni al-Jauzy, 1420 H), h. 24.
[19]Ibid.,
h. 30.
[20]Jaih
Mubarok, Kaidah-kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), h. 19.
[21]H.A.
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, Ed. 1., (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 23.
[22]‘Alī
Aḥmad al-Nadawī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, Cet. V; Beirūt: Dār al-Qalam, 1420 H./2000 M.), h.
68-69.; Lihat juga: H. A. Djazuli, ibid.
[23]Kementrian
Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi ArAbīa,
op. cit., h. 16.
[26]ibid.,
h. 25.
[27]Zainuddīn
ibn Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Muḥammad, terkenal dengan nama “Ibnu Nujaim”
merupakan tokoh fiqh mażhab Ḥanafiyyah di Mesir (w. 970 H). Lihat: Khairuddīn al-Zarkaly, al-A’lām, Juz. III., (Cet.
VI; Beirūt: Dār al-‘Ilmi al-Malayiin,
1984 M.), h. 64.; Abū al-Faraj ‘Abdul Ḥayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī,
Syażarāt al-Żahab fī Akhbār Man Żahab, Juz. VIII., (t. Cet; Beirūt: al-Maktab
al-Tijārī, t. th), h. 358.
[28]‘Abdul
Wahhāb ibn ‘Ali ibn ‘Abdil Kāfī ibn ‘Ali ibn Tamām ibn Yūsuf al-Subkī
al-Syāfi’ī, Tājuddīn Abū Naşr, Lahir di Mesir tahun 727 H., wafat 771 H. di
Ţā’ūn, dan dikuburkan di Safhu Qāsiyūn. salah seorang ulamā’ fiqh mażhab
Syāfi’iyyah. Lihat: Abū al-Faraj ‘Abdul Hayy ibn al-‘Imād al-Ḥanbalī,
Juz. VI., ibid., h. 221.
[29]Tājuddīn
‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali ibn ‘Abdil Kāfī al-Subkī, al-Asybāh wa
al-Naẓā’ir, Juz. I.,
(Cet. I; Riyadh:
Maktabah al-Rusyd, 1413 H.), h. 11.
[30]‘Abdurraḥmān
ibn Jādulullāh al-Bunānī al-Magribī, Abū Zaid, seorang ahli fiqh dan uşūl Dari kalangan mażhab Mālikiyah (w. 1198 H.).; Lihat:
Khairuddīn al-Zarkalī, op.cit., h.
302.
[31] Muḥammad ibn Aḥmad
ibn Abī Bakar ibn Yaḥyā ibn ‘Abdirraḥmān ibn Abī Bakar ibn ‘Ali al-Qurasī
al-Maqqarī al-Tilmisānī, Abū ‘Abdillāh, seorang ulamā’ mażhab Mālikiyah (w. 758
H./759 H.). Lihat: Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Farḥūn al-Mālikī, al-Dībāju
al-Mażhabū fī Ma’rifati A’yāni ‘Ulamā’i al-MażhAbī, (Cet. I; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H.), h. 382.
[32]Abū
‘Abdirrahman Muḥammad ibn Muḥammad ibn Aḥmad al-Maqqary, al-Qawā’id, Juz. I., (t. Cet; Makkah: Markaz Iḥyā’ al-Turāś al-Islāmī
Ummul Qurā University, t. th), h. 212.
[33]Ismā’īl
ibn Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar